Hinata Umi's Work

Mahar Untukku, Suamiku...


Hari ini, 9 juni 2013, Genap umurku dua puluh lima tahun. Usia yang dipandang oleh masyarakat sebagai usia yang sudah pantas untuk menyandang gelar ibu rumah tangga. Aku, bukannya tak mau menikah. Saat ini aku sedang menunggu. Menunggu orang itu. Dia yang sudah berkenalan dengan ibuku. Dia yang sudah berkenalan dengan ayahku. Dia yang sudah berani melamarku ke hadapan ayahku setelah ta'aruf ketiga kami.

Aku seorang gadis biasa dari kalangan keluarga biasa pula. Aku juga gadis yang senantiasa mengenakan jilbab. Tetapi jilbab ini tak seperti yang kau bayangkan. Hijabku belum sempurna. Aku sadar itu sepenuhnya. Sangat menyadarinya. Murobbiku selalu mengingatkanku untuk "memulai" tapi hatiku tak siap dan entah kapan kiranya hatiku ini akan siap.

Tentang Ta'aruf, walaupun aku belum sempurna mengenakan hijabku, tapi aku sempurna ingin memantapkan separuh 'dhien'-ku dengan cara yang halal. Dan karena itu aku tahu, bukan pacaranlah yang menjadi pilihanku. Ketika aku utarakan niatku pada murobbi-ku, Dia menyambutnya dengan sangat bahagia.

Ya... Aku memilih melakukan ta'aruf. Satu bulan lalu, aku dihubungi oleh murobbiku.

" Assalammualaikum Lin, kamu sekarang ada dimana?"
" Wa alaikum salam mbak, Aku lagi di rumah ada apa mbak?"
" Enggak, ada yang mau mbak beri tahu ke kamu."
" Ada apa ya mbak?"
" Kamu... serius kan dengan pernyataan kamu kemarin tentang kamu yang sudah siap menikah?"
" Ya serius lah mbak, yang benar saja Lina becanda soal sepenting itu."
" Baiklah, pagi ini mbak mendapatkan kabar, bahwa ada yang berniat ta'aruf denganmu."
" yang benar mbak? Alhamdulillah."

Begitulah pagi hari itu, aku bertemu dengan mbak Fatimah, murobbiku. Aku diberi tahu mengenai detail "calon"-ku itu, termasuk CV pria itu. Sesaat aku membaca CV-nya, jantungku sudah bergetar hebat. Tidak. Wajahnya tak setampan artis Korea. Tidak. Dia tidak sekaya pangeran William. Lantas? Apa yang membuatku bergetar?

Kau tahu? Pria ini adalah pria yang pernah berhubungan denganku dalam jalinan hubungan bernama "pacaran" semasa jahiliyah-ku dulu. Aku sangat mengingatnya. Pria ini, pria yang sangat mencintaiku. Katanya. Pria ini juga yang, katanya, tak pernah berhubungan dengan wanita lain sejak 'putus' hubungan denganku.

***

Ya... Saat aku masih SMA. Masih remaja polos yang baru mengenal dunia. Dia merupakan salah satu kakak kelas favoritku. Baik, sopan dan ramah. Itulah kesanku pertama kali tentangnya. Aku yang pendiam dan tertutup sungguh berbeda dengannya. Bertemu dengannya, seperti  bertemu sisi lain diriku. Dua bulan. Hanya dua bulan kami melakukan 'PDKT' yang kata teman-temanku bukan 'PDKT' itu. Dia mengatakan perasaannya padaku. Bagai gayung bersambut, aku-pun menerimanya. Tahun terakhirnya adalah hal yang paling berat bagi kami. Berpisah. Satu kata itulah yang  membuat kami merasa sangat terancam.

Saat perasaanku sedang gamang itulah, aku berkenalan dengan Rohis. Ekstrakuliler Agama Islam di sekolahku. Hampir dua tahun aku bersekolah, baru saat itulah aku mulai mengenal Rohis di SMA-ku itu. Mengapa? Akupun tak tahu. Disana, aku belajar banyak hal, konsep cinta, konsep nafsu, konsep ketuhanan, dan semuanya itu baru kupahami. Kesemuanya membuat aku tertohok. Membuat aku sesak. Betapa aku tak mengenal hal-hal ini. Betapa aku sudah terlalu jauh dari agamaku sendiri. 

Aku terus menerus fokus pada dua hal, Dia dan Rohis. Hingga tibalah saatnya dia harus mengikuti SNMPTN, katanya dia akan mendaftar pada salah satu universitas di luar pulau. Aku ingat reaksiku hanya tersenyum padanya, menyemangatinya. Saat itu yang kutahu, hatiku sangat sedih. Aku takut berpisah dengannya. Terlalu takut hingga akupun tak dapat mengungkapkannya.

Akhirnya, hal yang aku takutkan-pun benar-benar terjadi. Dia lulus pada pilihan pertamanya di universitas X saat itu. Aku sangat takut harus berpisah dengannya. Menangis, memohon pada tuhan, agar aku tak dipisahkan dengannya. Dia, berkali-kali mengatakan padaku, " tak apa, tak apa, hubungan kita tak akan berubah. Hubungan ini suci, kita saling mencintai, tak ada yang dapat memisahkan kita. Tak jarak, tak pula orang ketiga. Tak ada." Tidak. Saat itu aku tak percaya. Bagaimanapun jarak dan lingkungan akan memisahkan kami.

Saat itulah aku diserang oleh fakta nyata bahwa cintaku padanya ternyata masih terlalu kuat dibanding cintaku pada tuhan. Perasaan takut kehilangannya membuatku buta mata. Segala jenis materi qultum dan nasehat-nasehat yang sering kudapat dari rohis tersebut berterbangan di kepalaku. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku mendapat jawaban dari tuhan atas doa-doaku. Dengan memantapkan hati, aku memutuskan hubunganku dengannya. Reaksinya?

" Apa? Kenapa? Apakah aku ada salah?"

Jawabanku?

" Cintaku padamu sudah melebihi cintaku pada Allah, kak. Aku lebih takut aku dibenci olehnya dibanding dibenci olehmu. Nanti, kalau kita berjodoh kita juga akan bersatu. Tuhan itu adil."

Sampai detik saat keberangkatannya-pun dia masih menghubungiku untuk mengembalikan hubungan kami. Aku tetap pada pendirianku. Tak bergeming sedikitpun. Walau hatiku perih, bagaimanapun juga cintaku padanya masih begitu besar.

Setelah itu tak ada lagi komunikasi di antara kami. Sesekali kudengar kabarnya dari pulau sebelah, dari teman-temanku yang mengetahui hubunganku dengannya dulu. Tapi itupun sangat sedikit sekali. Aku sibuk memperbaiki diriku sendiri. Aku mulai mengenakan jilbab. Mulai mengikuti liqo'. Satu tahun setelah itu, aku ikut SNMPTN dan diterima pada jurusan Arsitektur di universitas yang berada satu kota dengan Universitasnya. Bukan! Aku tidak mengejarnya. Ini murni karena aku ingin masuk jurusan itu dan jurusan arsitektur terbaik memang hanya disana. Aku juga melanjutkan studi S2-ku di universitas yang sama.

***

" Lina, bagaimana?" mbak Fatimah mempertanyakan tanggapanku setelah melihatku tak bereaksi.
" eng... mbak 'dapat' dia darimana?"
" oh... kenapa? Kamu tidak cocok dengan orangnya? Tidak apa-apa mbak akan coba tanya pada yang lain kalau kamu tidak cocok."
" umh.. bukan itu mbak. Hanya ingin bertanya saja."
" eng.. Dia, adik Liqo'an mas Anto , Lin." Aku terkejut mengetahui bahwa dia adalah adik Liqo'annya suami mbak Fatimah.
" kok kita enggak pernah ketemu mbak?"
" Ya iyalah Lin, dia ini kata mas Anto cukup sibuk, usahanya cukup sukses. Jadi cuma bisa ikut jadwal Liqo' yang malam, yang bareng sama bapak-bapak."
" oh begitu... "
" Kemarin setelah mbak bilang pada mas Anto tentang niatmu, mas Anto langsung mengusulkan dia. Kata mas Anto siangnya dia juga mengutarakan hal yang sama."
" Dia tahu tentang aku, mbak?"
" Tahu. Mas Anto sudah kasih tahu dia. "
" Dia juga sudah dapat CV-ku?"

" Belum. Seharusnya, dia baru akan mendapat CV-mu malam ini. Kata mas Anto,  ketika dikasih tahu ada wanita yang siap dikhitbah dia langsung nanya. Ketika mas Anto sebut nama kamu dan universitas tempat kamu kuliah, dia langsung setuju untuk ta'aruf."

Sunguh aku sungguh kaget. Kebetulan atau tidak, saat itu, hal ini sungguh kenyataan yang sangat mengagetkan untukku. Kenyataan bahwa ternyata dia yang jadi calon ta'arufku saja sudah cukup membuatku kaget. Ditambah lagi, kenyataan bahwa dia berubah ( Liqo', punya murobbi, ta'aruf) itu semua sangat membuat hatiku bergetar.

" Kenapa Lin? Apa kamu tidak cocok dengan orangnya?"
" mhm.. mbak ingat dengan ceritaku tentang kakak kelasku?"
" Ya... mana mungkin mbak lupa. Dia yang pacaran denganmu dulu itu, kan? Yang sampai sekarang-pun kau masih mecintainya."
" Iya mbak. mh.. Dia.. Dia... Dia adalah orang ini." Aku menunjuk foto yang terdapat dalam CV itu. Mbak Fatimah menutup mulutnya dan mendelikkan matanya.
" Subhanallah. Allah sangat mencintaimu, Lina. Allah sungguh sangat mencintaimu." Mbak Fatimah memelukku dengan erat.

***

Pada hari yang telah disepakati, kami-pun melakukan ta'aruf di rumah mbak Fatimah. Aku ditemani mbak Fatimah dan dua orang temanku. Dia ditemani mas Anto dan 2 orang temannya. Kami dipisahkan oleh dinding kayu di ruang tamu mbak Fatimah.

" Assalammua'laikum Lin, sudah lama tak bertemu. Apa kabarmu?" Dia memulai percakapan. Aku mendengar kedua temanku, kedua temannya dan mas Anto yang tidak mengetahui duduk perkaranya, terkejut.
" Wa alaikum salam kak. Alhamdulillah Lina sehat sekali."
" Kalian sudah saling mengenal?" jelas sekali terdengar nada kekagetan dari suara mas Anto.
" Dia adalah gadis yang membuatku bertemu denganmu mas." Jawaban darinya itu sungguh membuat aku kaget.
" Maksudmu, Lina adalah gadis yang kau ceritakan waktu itu? Gadis yang meninggalkanmu demi agamanya? Gadis yang membuatmu mencari seorang murobbi disini?"
" Iya mas, Dia adalah gadis itu. Gadis yang sungguh membuatku penasaran seperti apa rupa Islam. Hingga aku akhirnya mencarimu dan mencintai Islam."

Sungguh aku tak kuasa menahan tangisku. Kudengar ucapan Subhanallah terucap berulang kali di sekelilingku. Sungguh, aku tak kuasa menahan tangisku. Ku dengar dia menyebut namaku.

" Lina, kakak serius ingin melanjutkan ta'aruf ini. Bagaimana dengan Lina?"
" Kak, lina..."
" Tak apa jika Lina tak berkenan, kakak tidak akan memaksa. Tapi kakak minta Lina istikharah dulu untuk menjawabnya. Kakak juga akan istikharah. Kakak ikhlas apapun jawaban Allah nanti."

Begitulah ta'aruf pertama kami berakhir. Hingga akhirnya aku mendapat kepastian dari Allah bahwa dialah jodohku. Aku mengutarakan jawabanku melalui mbak Fatimah, dia-pun mengutarakan jawabannya melalui mas Anto. Lalu kamipun menyepakati waktu untuk ta'aruf kedua kami.

Untuk lebih mengetahui satu sama lain. Bagaimanapun kami berdua sudah berubah, dan kami butuh untuk mengetahui sudah sejauh mana perubahan kami. Di ta'aruf yang kedua inilah, dia mengutarakan niatnya untuk menemui kedua orangtuaku di ta'aruf ketiga kami. Bukan main kencangnya jantungku berdetak saat itu.

Seperti yang sudah dikatakannya, di ta'aruf ketiga, dia meng-khitbahku di depan ayahku. Ayahku menerimanya. Ya...setelah saat itu, hari-hariku dan mama dipenuhi dengan persiapan pernikahan yang diadakan satu bulan setelah dia mengkhitbahku di depan ayah.

Dia sempat bertanya padaku, " Lina, Mahar apa yang ingin kau minta padaku? Katakanlah, insyaAllah akan kupenuhi!"

Aku sempat terdiam mendengar penuturannya. Tapi setelah berpikir sebentar, akupun akhirnya mengatakan keinginanku.

" Tak banyak kak, cukup hal terbaik yang dapat kau berikan padaku. Kuserahkan urusan mahar ini padamu. Apapun mahar darimu kuterima, asal itu tidak memberatkanmu."
" Lina serius? Kakak yang menentukan maharnya?" Aku mengangguk mantap." Iya kak"
" Kalau begitu, maharnya akan jadi kejutan untukmu." Ucapnya dari balik hijab.

***

Dan disinilah aku sekarang, menunggunya datang. Tak ada lagi yang kutakutkan. Aku hanya perlu menunggu. Menunggu hingga dia mengucapkan ijab Qabul itu di depan ayah. Menunggu. Jantungku berdetak keras.

"Saya terima nikahnya dan kawinnya, Harlina Binti Mahmud, dengan mahar, sebuah cincin emas, seperangkat alat sholat dan seperangkat pakaian muslimah rancangan Muhammad Dirga Syahputra, Dibayar tunai."

" sah?" Kudengar para saksi mengucapkan " sah."
dan kudengar para tamu mengucapkan " Alhamdulillah." yang dilanjutkan dengan lantunan doa.
Alhamdulillah. Hari ini, tanggal 9 juni 2013, aku, Harlina telah resmi menikah dengan Muhammad Dirga Syahputra dengan mahar, sebuah cincin, seperangkat alat sholat dan seperangkat pakaian muslimah buatan tangan suamiku.

Share:

0 komentar

Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.