Hinata Umi's Work

Adi dan Bunda #3 : Anak Adalah Ujian

Hari itu seperti biasa aku ke TK tempat Adi bersekolah. Seperti biasa pula, TK Al-insan ramai oelh ibu-ibu yang ngobrol sambil menunggui anak-anak selesai belajar.  Normalnya aku sedikit enggan berada di salah satu kerumunan itu. Hanya saja, hari ini aku datang lebih cepat dari seharusnya. Tidak ada salahnya sedikit bertegur sapa dengan ibu-ibu di sini.

"Eh, Bunda Adi. Sudah lama sekali enggak keliatan jeung di mari. Lagi sibuk apa sih?" Aku tersenyum pada bu Sisca. Ia adalah ibu dari salah satu teman Adi, Arini. Gadis kecil baik. Memiliki potensi untuk menjadi anak sholehah.

"Hahaha, bu Sisca ini perhatian sekali. Hanya sedang mengisi waktu dengan kegiatan produktif saja. Maklum bu, lagi sibuk nulis." Ia tersenyum mendengar jawabanku. Ibu-ibu di sini memang sudah tahu dengan kesibukan baruku itu.

"Asyik sekali yah Bunda Adi ini. Tidak ada kesibukan yang berarti. Suami pergi kerja, anak pergi sekolah. Tinggal sendiri di rumah. Sehabis masak , membersihkan rumah dan nyuci, bisa langsung nulis." Ini Bu Lia. Ia ibu dari Rakka. Teman dekat dari Adi. Mereka sering ke rumah jika lagi senggang. Karena itu, beliau sedikit lebih tahu tentang 'kegiatan'-ku daripada bu Sisca.

"Iya... Bunda Adi ini lebih enak. Aku jadi inget temanku, Ibu Leni... itu looh.." Aah... mereka mulai lagi. Obrolan yang sejujurnya paling aku hindari ketika bersama mereka. Alasan mengapa aku enggan untuk berkumpul dengan ibu-ibu ini.

Mengenai Arini, aku ingat ketika Arini berkata padaku dengan wajah polosnya di suatu hari, "Bunda Adi, bolehkah Arini mengenakan jilbab seperti Bunda Adi?"

Aku menatap wajah polos Arini. Tersenyum. "Kenapa tidak boleh sayang?" Tanyaku padanya.

"Kata mama, Arini masih kecil. Arini mendingan enggak usah pakai jilbab dulu. Tapi Arini pengen pake jilbab kayak Bunda Adi dan Mualimmah Yana." Ucapnya sambil menatap salah satu guru berjilbab pink yang sedang menerima setoran hafalan juz Amma dari anak-anak seumuran Arini. TK ini memang sedikit lebih bebas dibanding TK-TK lainnya. TK ini membebaskan siswanya ke mana saja, asal mereka sudah mengerjakan kewajibannya. Sekolah yang mengajarkan konsep tanggung jawab pada anakku.

"Arini benar-benar mau pakai jilbab?" Arini mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaanku.

"Ya udah, nanti bunda coba ngomong ke mama kamu ya."

Butuh waktu cukup lama untukku memenuhi janjiku pada Arini. Dua minggu. Itu waktu yang kubutuhkan hingga akhirnya berhasil meyakinkan ibu dari gadis kecil itu untuk mengijinkan anaknya berjilbab.

Sebenarnya, untuk anak seumuran Arini, segala hal yang terjadi di lingkungannya masih 'baru'. Jadi, mungkin saja, pilihannya untuk berjilbabpun akan bertahan sementara. Namun untukku, itu kemajuan. Aku bisa berharap ia meneruskan pilihannya hingga dewasa.

Sekarang, Arini sudah terlihat lucu dengan jilbab warna-warni bertelinga panda-nya. Jilbab yang kuhadiahkan padanya beberapa bulan lalu sebagai 'welcome'  jilbab untuknya. Menyambutnya yang baru memasuki dunia baru. Tidak terlalu mahal seperti pakaiannya yang lain, namun cukup untuk menumbuhkan semangatnya untuk Istiqomah mengenakan jilbabnya.

"Bundaaaa..." suara Adi memecahkan lamunanku mengenai Arini. Sepertinya ia sudah berhasil menyetorkan lima ayat An-Naba' nya ke Mualimmah Yana. 

"Ya sayang? Kamu sudah selesai?" Aku meyambutnya dengan pelukan. Kesatria kecilku mengangguk mantap sambil mengacungkan jempol kanannya padaku. Pertanda bahwa ia berhasil tanpa mengalami gangguan saat menyetorkan hapalannya tadi.

"Iya dong bunda! Nanti bantuin Adi hapal yang lima terakhir ya bunda. Biar abis itu Adi bisa ulang hapalan." Ia bersemangat sekali. 

"Siap bos!! Buat Adi apa sih yang enggak?" Aku mencubit hidungnya sambil menarik tubuhnya kembali dalam pelukanku.

"Bunda.. Adi mau ke Mualimmah Rida dulu. Kontrak Adi tinggal sama Mualimmah Rida, dengerin Shirah-nya Kakek Umar. Bentar lagi udah mau mulai. Bunda jangan kemana-mana ya, bunda!" Aku mengacungkan jempol padanya. Sejenak setelahnya ia berlari kembali ke ruang kelas.

Kontrak adalah istilah TK Al-insan untuk menyebut jadwal belajar. Anak-anak terikat dengan beberapa kontrak setiap harinya, seperti setor hapalan, mendengarkan shirah, membaca Qur'an, berlatih menulis, berlatih membaca, bermain serta makan bersama. Yah... bermain dan makan bersama masuk ke dalam kurikulum.

"Bunda Adi, enak ya. Punya anak Sholeh banget kayak Adi. Anaknya ga jadi ujian. Bisa dibanggain. Ga kayak anak saya noh! Disuruh ngapal aja susah banget." Ini bu Ratna, ia adalah ibu dari Robi. Anaknya cerdik dan murah hati. Sering berbagi makanan dengan Adi.

"Iya, ya! Adi mana mungkin jadi ujian buat Bunda. Baik gitu anaknya." Ini jeung Leli yang berbicara. Beliau ibu dari Kafka. Bocah pendiam dan pemalu, namun ahli dalam membuat kerajinan tangan.

Aku tertawa mendengar penuturan ibu-ibu ini. Astagfirullah. Selipan rasa bangga itu, membuatku takut. Kata siapa Adi tidak menjadi ujian buatku?

"Adi juga cobaan untuk saya kok."

Seperti dugaanku, pandangan mereka berubah sebal padaku. Perubahan yang aku pahami. Bukannya aku tidak bersyukur. Namun, Adi memang ujian berat buatku. Karena terkadang ia membuatku terlena.

"Ibu-ibu, terkadang, apa yang baik menurut kita sering membuat kita terlena. Justru terkadang, ujian terberat bagi kita adalah apa-apa yang membuat kita terlena." Aku tersenyum menatap para ibu-ibu itu. Mereka tampak bingung mendengar penuturanku.

"Adi, anak yang sangat baik. Anak yang sempurna untuk kaum ibu. Terkadang hal itu membuat saya secara tak sadar menuntutnya lebih. Kadang membuat saya menjadi sombong. Kadang membuat saya jadi terlalu membanggakannya. Kadang membuat saya jadi terlena dan lupa bahwa ia bisa saja berbelok. Membuat saya jadi tidak awas untuk memperhatikannya. Untuk menjaganya." Aku menghela nafasku perlahan. "Itu ujian yang Adi berikan pada saya."

Ya... Banyak orang tua yang lupa. Anak akan menjadi ujian tidak hanya ketika ia berlaku buruk. Ia juga akan menjadi ujian kala berlaku baik.

Emosi yang menaik. Kemarahan yang melejit. Ketidaksukaan yang membuncah. Kekerasan yang menguar. Kesabaran yang berbatas. Ini adalah ujian untuk orangtua yang memiliki anak yang terdefinisi nakal.

Kesombongan yang membersit. Harga diri yang mengekang. Kebanggaan yang berlebihan. Keindahan yang melenakan. Itulah ujian untuk orangtua yang memiliki anak yang baik. Sering luput, tapi nyata ada di dunia.

Ibu-ibu itu terdiam mendengar penuturanku. Satu persatu mereka menatap anaknya masing-masing. Tampaknya, kali ini mereka memahami maksud dari ucapanku.

"Bundaaa... Pulang yuk! Adi mau makan es krim!"

Adi, anakku yang sempurna dalam definisi manusia, mendatangiku sambil menenteng tasnya. Menatapku dengan mata lucunya.

"Kontrak sama mualimmah Rida-nya udah beres?"

Ia mengangguk mantap. "Jadi, Adi boleh makan es krim kan?"

"Oke! Bunda beliin es krim. Tapi kamu ceritain ke bunda ya, tadi mualimmah Rida cerita apa aja." 

Aku tersenyum pada Adi. Mengacak rambutnya perlahan.

"Siap bunda! Adi siap nyeritain kekerenan Kakek Umar dengan ibu-anak makan batu!"

Ah.. sepertinya Mualimmah Rida menceritakan tentang kisah kepemimpinan Umar RA dan wanita pemasak batu kali ini.

"Kamu janji?"

Adi memamerkan giginya yang bertaring lucu mirip papanya sambil mengacungkan jempol kanannya padaku, "Adi janji bunda! Ini janji laki-laki!" ucapnya sambil memukul dadanya dua kali. Menimbulkan bunyi gedebuk lembut.

Sontak aku tertawa mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya. Begitupun ibu-ibu lain yang ada di sana. Ini pasti kerjaan papanya. Awas saja, nanti di rumah aku akan memarahinya karena mengajarkan kalimat itu pada Adi.

"Ya udah, ayuk! Kita makan es krim!"

Ajakku bangkit berdiri dari kursi taman TK Al-insan. Menggenggam jemari kecil Adi.

"Ibu-ibu, saya duluan ya! Permisi." Tersenyum aku meninggalkan lapangan TK itu bersama Adi. Semoga kau menjadi anak yang shaleh ya nak. 


====================================================
Catatan penulis :

DISCLAIMER : cerita ini hanyalah cerita fiktif. Murni karangan penulis. Jika ada kesalahan pemahaman, mohon diluruskan :D

Udah lama banget yah, ga apdet cerita Adi dan Bunda. Belum dapet inspirasi sih sebenarnya xD

Kemaren abis baca buku "7 Kiat Orangtua Shalih Menjadikan Anak Disiplin dan Bahagia" karangannya Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari. Ini buku kedua beliau seri parrenting dengan tema "Yuk, Jadi Orangtua Shalih". Bukunya bagus, bahasanya enak walaupun agak men-judge. Mungkin beberapa ilmu yang saya dapat akan di share dalam bentuk fiksi Adi dan Bunda. Biar bisa jadi bahan belajar bersama juga :)

Share:

0 komentar

Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.