Adi dan Bunda #4 : Jangan Hardik Rasa Ingin Tahu Anak
"Bunda... Bunda... Ini apa?"
"Apa yang apa, nak?" Ucapku. Menatap heran pada kesatria juniorku yang berlari menghampiriku dari dalam kamarnya. Ksatria senior, Abinya, sepertinya masih membersihkan pekarangan. Aku tak meminta, tapi, begitulah Abinya Adi, melakukan sesuatu yang dapat ia lakukan ketika hari liburnya tiba.
"Ini loh, Bunda!" Kali ini, ketika ia sudah berhasil ada di hadapanku, Adi menunjukkan sebuah makhluk kecil berwarna hijau berkaki 6. Dengan salah dua kakiknya yang paling atas berbentuk pengait.
"Oh.. Itu namanya belalang, Sayang." Aku berjongkok agar bisa setara tinggi dengannya. Anak kecil selalu menyukai kesetaraan. Bahkan anak kecilpun sudah paham mengenai kesetaraan itu.
"Oh..." Kini ia menatap ke atas meja. Matanya menatap heran dengan tumpukan sayuran yang akan kumasak hari ini. "Bunda mau masak apa hari ini? Ayam goreng ya, Bunda?"
"Memangnya Adi melihat Ayam di atas mejanya?"
"Engg.. enggak sih Bunda. Lagian Adi juga enggak liat yang di sebelah sana-sananya lagi." Mulutnya menggeser-geser ke kanan dan ke kiri. Mencoba menunjukkan padaku bahwa ada sisi lainnya yang terhindar dari penglihatannya. Aku tertawa melihatnya.
"Kamu ini, sini bunda gendong." Aku mengangkatnya dengan tanganku. Kupeluk erat tubuhnya yang tak bisa lagi kubilang mungil. "Nah, sekarang, kasih tahu bunda, apa aja yang ada di atas meja!"
"Ehmm.. ada kangkung, ada tomat, ada acabe, terus bawang merah dan bawang putih. Terus.. terus ada kentang, ada seledri, ih Adi suka seledri, Hmm ada... itu apa bunda?" Adi menunjuk ikan yang belum selesai ku siangi tadi. Masih butuh jeruk limau agar ikannya tidak bau anyir dan sayangnya, dapur kami kehabisan jeruk limau.
Itu namanya ikan gembung sayang. Bunda belum pernah nunjukkin ke kamu ya?"
"Ih iya nih, Bunda. Adi belum pernah liat. Rasanya gimana?"
"Rasanya pokoknya enak deh."
"Bundaaaa.. Tukang sayurnya sudah nungggu tuh. Sudah Abi panggilkan!" Teriakan Ksatria Senior membuat Adi tergelak.
"Abi teriaknya lucu yah, Bunda. Mirip teriakan mang Koyo." AKupun tertawa membalas celotehan anakku ini. Mang Koyo itu adalah tukang sayur yang dipanggil abinya Adi.
"Hus. Kalo Abi denger ntar Adi dijewer loh." Aku menowel kuping Adi. Ini anak emang sedikit iseng pada Abinya. Mungkin karena sesama lelaki, keakraban mereka jadi berbeda.
"Khikhikhi abisnya Abi begitu sih suaranya."
"Sudah, sudah, Adi mau nemenin, Bunda?"
"Mauuu... Adi mau beli permen, Bunda!" Tak tahan aku tersenyum lagi menatap kehebohan anakku yang satu ini. Permen di tukang sayur. Ya tuhan!
Dan benar saja, ketika didapatinya tidak ada permen di sana dia mendengus sebal. Namun itu tak lama, sebelum akhirnya, matanya menangkap sesuatu yang tak pernah ia lihat di atas gerobak sayur mang Koyo.
"Bunda, Ini apa?" Tunjuknya pada sayur yang sedang kupegang.
"Ini namanya, Pak Choi."
"Ada Bu Choi-nya enggak bunda?" Sekejap aku tertawa kembali. Ibu-ibu yang sedang ikutan belanja sayur di Mang Koyo juga ikut tertawa. Adi sepertinya sedang tidak bercanda, tapi tetap saja, pertanyaan itu membuat kami geli.
"Yah enggak ada dong, Sayang."
"Terus kenapa namanya Pak choi kalau Bu Choi-nya ga ada?" Sungguh, aku gemas dengan anakku sendiri. Dia kritis dan cerdas. Kadang pertanyaannya tak bisa kujawab dengan instan.
"Bunda juga ga tahu. Nanti kalau bunda tahu, bunda kasih tahu kamu deh."
"Ah... kalau gitu Adi tanya Abi deh, mungkin Abi tahu jawabannya."
Menggeliat ia dari gendonganku. Turun dan berlari ke dalam rumah, ke arah Abi-nya yang mungkin sekarang ada di kamar, membetulkan lampu tidur yang kedap-kedip tadi malam.
Aku kembali memilih jeruk limau sambil sesekali tersenyum mengingat tingkah kecil Adi.
"Bunda Adi, sabar banget ya. Tiap kita belanja perasaan Adi nanya mulu. Kalau saya, mungkin udah ga tahan buat ngusir dia dari samping. Suruh main kek, nonton tipi kek, biar ga nanya-nanya mulu. Pusing ngedengernya!" Bu Ilyas, ibu dari tiga anak kembar. Eri, Erika, dan Erina. Dua anak perempuan dan satu anak laki-laki. Aku tak begitu tahu betapa pusingnya mengurusi tiga anak sekaligus. Jadi aku hanya tersenyum menatap beliau.
"Yah, kadang kesel juga loh bu. Tapi gimana lagi, kalau saya menghardik pertanyaan yang muncul darinya sekarang, saya khawatir membunuh rasa ingin tahunya."
Yah, seorang anak lahir dengan keterbatasan ilmu pengetahuan. Seiring waktu berjalan, ilmu itu akan bertambah dengan berbagai cara. Mengamati, melihat, menyentuh, merasakan dan menanyakan. Bagaimana mungkin aku mengusir anakku yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi?
"Maksud bunda, kita harus menjawab seluruh pertanyaan mereka?"
"Ya tidak juga bu Ilyas, terkadang ada juga pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak bisa kita jawab. Yah, jika berada dalam keadaan seperti itu, saya mengakui padanya kalau saya tidak tahu."
"Bukannya kalau kita menjawab seperti itu, anak akan menganggap remeh ya bunda?" Aku tertawa. Aku tak pernah merasa Adi meremehkanku selama ini, meski aku berkali menjawab pertanyaannya dengan tidak tahu.
"Tergantung bagaimana kita menjawabnya. Saya menjawab pertanyaannya dengan tidak tahu. Namun, saya tetap berusaha mencari jawabannya. Ketika sudah tahu jawabannya, saya menjelaskan kembali kepadanya."
"Bundaaa... Kata Abi, Bu Choi-nya ada di Korea." Aku tertawa mendengar teriakan polos dari Adi. Sawi Pak Choi memang berasal dari Korea, tapi aku baru tahu kalau memang ada 'Bu Choi'-nya. Nanti, aku akan memarahi Abi dengan jawaban asal itu.
"Ini Mang Koyo, limaunya aja tiga ribu sama cabai merahnya seperempat, berapa semuanya?"
"Ah untuk bunda Adi, saya kasih semuanya sepuluh ribu aja deh." Mang Koyo tertawa renyah. Khas penjual sayur yang sedang senang dagangannya dibeli. Ia memberikan bungkusan belanjaanku.
"Ah, Mang Koyo ini bisa aja. Itu mah harga normal." Ucapku tertawa sambil mengambil belanjaanku darinya. "Ayuk... Ibu-ibu, Mang saya duluan."
"Iya monggo bu."
Dan akupun kembali ke dalam rumah sambil menenteng barang belanjaan yang tidak banyak. Memikirkan haruskah aku masak perkedel hari ini, atau sambal ikan goreng saja?
==========================================================================
Catatan penulis : DISCLAIMER : cerita ini hanyalah cerita fiktif. Murni karangan penulis. Jika ada kesalahan pemahaman, mohon diluruskan :D
Intinya sih : Jangan membunuh rasa ingin tahu anak-anak :)
Tags:
cerbung
0 komentar
Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.