Hinata Umi's Work

[ARTIKEL] Cara Menulis Cerpen #2: Mengolah Ide Menjadi Alur

"And so the plot thickens...."

-Carolyn Porco-

* * *

Artikel ini adalah kelanjutan dari artikel Cara Menulis Cerpen #1: Mencari Ide

Hai, teman-teman~

Sudah berapa ide yang kamu kumpulkan hari ini? Apakah sudah cukup banyak untuk melanjutkan pelajaran kita kemarin? Jika iya, yuk, kita lanjutkan pelajaran kita selanjutnya. 

Sepertinya janji Umi di artikel sebelumnya, kali ini kita akan belajar bagaimana caranya mengolah ide menjadi alur.

Ide yang kita buat, masih merupakan mentahan dari hal yang akan kita tuliskan. Ibarat kita mau minum jus, ide ini masih dalam bentuk jeruk, belum bisa diteguk untuk menghilangkan dahaga kita. Untuk bisa meminum jus jeruk itu kita masih harus memeras jeruknya, menyaringnya dari biji yang akan membuatnya pahit, memberikannya sedikit gula, menambahkan sedikit air dan menambahkan es ke dalamnya. Semua proses itulah yang akan kita sebut alur. 

Dalam pembuatan cerpen, alur cerita yang umum digunakan hanya dua jenis, alur maju atau alur mundur. Alur Maju diawali dengan mengapa konflik ada hingga bagaimana konflik itu diselesaikan oleh tokoh. Alur Mundur diawali dengan bagaimana tokoh menyelesaikan permasalahannya lalu mundur ke awal mengapa ia bisa terjebak ke dalam masalah itu.

Jenis alur mana pun yang kamu pakai, semuanya pasti memiliki ketiga bagian ini:
  1. Pengenalan: Siapa tokohmu, tinggal di mana dia, apa yang dia sukai, apa tujuan hidupnya,
  2. Konflik: Masalah atau rintangan yang dihadapi tokohmu nanti, dan
  3. Penyelesaian: Bagaimana tokohmu menyelesaikan masalahnya/tujuannya dengan rintangan yang ada.
Ketiga bagian tersebut nanti akan dikombinasikan untuk membentuk alur cerita yang kita ingin. 

Ingat bahwa dalam menyusun ide menjadi alur cerita kamu harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini:
  • Siapa tokoh utamamu?
  • Dimana ceritamu berlangsung?
  • Kapan cerita itu terjadi?
  • Apa yang mau diceritakan?
  • Kenapa cerita itu penting untuk tokohmu?
  • Bagaimana penyelesaiannya?
Mari kita ambil satu dari beberapa kalimat ide yang kita buat kemarin, lalu kita kembangkan menjadi sebuah alur. Umi ambil ide Segelas Kopi yang Pahit dan Roti Bakar Gosong Buatan Suami.

Dengan itu, coba kita jawab pertanyaan-pertanyaan pentingnya:
  1. Tokoh utamanya adalah si Suami.
  2. Cerita akan berlangsung di dalam rumah.
  3. Waktunya adalah pagi hari sebelum si Istri bangun untuk membuat sarapan
  4. Suami memasak roti bakar dan kopi untuk si Istri padahal si Suami tidak bisa masak
  5. Karena ini adalah anniversary pernikahan mereka, suami ingin memberi kejutan
  6. Suami minta maaf karena gagal ngasih kejutan

Lalu, setelah semua pertanyaannya terjawab, kita susun alur ceritanya sesuai dengan jawaban-jawaban yang sudah kita buat. Kita kombinasikan menjadi satu alur utuh:
  1. (Int) Hari ini anniversary pernikahan suami dan istri 
  2. (Int) Suami ingin memberi kejutan pada istri dengan memasakkan sesuatu untuk sarapan mereka pagi ini
  3. (Int) Sayangnya suami tidak bisa masak
  4. (Kon) Suami berselancar mencari resep di internet
  5. (Kon) Dia mencoba masak mengikuti resep sambil menyeduh kopi
  6. (Kon) Sayang, dia terlalu fokus membaca resep sampai ia lupa masakannya gosong
  7. (Kon) Saat dia mulai mau memasak lagi dari awal, istrinya sudah bangun
  8. (Penyelesaian) Terpaksa dia menyajikan kopi pahit dan roti gosong itu pada istrinya sambil mengucapkan maaf
Jadi deh, alur cerita kita. Gimana? Mudah, kan? Dari alur itulah, nanti kita kembangkan menjadi cerita yang lengkap.

Sekali lagi, ini bukan standar baku dalam pengolahan ide menjadi alur. Pada kenyataannya, kada umi sendiri pun tidak mengikuti proses ini. Dari ide bisa saja langsung ke cerita. 

Lalu, kenapa kita harus membuat alur? 

Dalam beberapa kasus, alur bisa sangat membantu dalam proses penulisan. Pernah suatu kali Umi langsung mengolah ide ke dalam cerita dan menuliskannya tanpa membuat alur/kerangka cerita terlebih dahulu, lalu, taanpa Umi sadari, ceritanya malah jadi ngalor ngidul tidak jelas awal dan akhirnya. Jadinya terlalu melebar.

Di sinilah, peran dari alur/kerangka cerita, membantu penulis untuk keep on track pada cerita yang ingin dia sampaikan. Aneh, kan, misalnya cerita Suami yang ingin memasakkan istri makanan, berakhir dengan cerita Suami malah buang air besar?

Bisa tidak, sih, kita berakhir dengan menuliskan cerita yang tidak sesuai dengan alur yang kita buat?

Bisa saja. Misalnya pada saat menulis, Umi merasa, adegan saat si Suami mencari resep tidak perlu, bisa saja umi hapus dan tidak Umi cantumkan ke dalam cerita. Tidak masalah. Alur atau kerangka cerita ada untuk membantu kamu fokus ke dalam cerita. Jika ternyata bagian/adegan di dalam alur yang justru tidak perlu dan membuat cerita tidak fokus, kenapa harus dipertahankan?


Begitulah teman-teman. Tidak sulit, kan?

Selanjutnya, kita akan pelajari bagaimana cara mengembangkan alur ini menjadi sebuah cerpen utuh dan layak baca.

Tungguin artikel selanjutnya, ya?

* * *

Share:

0 komentar

Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.