Hinata Umi's Work

[CERPEN] Happy Anniversary, Sayang!



Toni membuka matanya. Ia mengerjap dan mengucek matanya sekali, berusaha membersihkan kotoran di sana setelah puas bermain semalaman bersama Rika, istrinya yang begitu nyenyak tertidur di atas dada bidangnya.


Toni tersenyum begitu mengarahkan pandangannya pada sebingkai foto besar di seberang tempat tidur. Foto pernikahannya dengan Rika tepat tiga tahun yang lalu.


Ya, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka.


Untuk pasangan lain, mungkin ini biasa saja. Tapi tidak bagi Toni. Ini adalah ulang tahun pernikahan pertama setelah akhirnya Rika menyatakan cinta padanya. Tiga tahun pernikahan mereka berlangsung, dan baru tadi malam Rika menyatakan perasaannya pada Toni.


Toni begitu bahagia.


Mereka memang menikah tidak atas dasar cinta. Secara teknis, sih, cinta sebelah pihak. Toni mencintai Rika, tapi tidak dengan wanita yang ada di sebelahnya itu. Mereka menikah atas dasar kebutuhan.


Rika aseksual yang tidak bisa mencintai apalagi naik birahinya karena lelaki. Begitulah diagnosa dokter waktu itu. Keputusan menikah dengan Toni dia ambil karena ingin menghentikan tanya ‘kapan?’ dari sanak keluarga mereka.


Toni menyetujui ide gila itu karena ia pikir, cinta bisa tumbuh kapan saja. Siapa sangka, buah kesabaran Toni harus menunggu waktu yang cukup lama. Sampai sebelum pernyataan cinta dan pertempuran panas tadi malam, wanita itu begitu kokoh tidak ingin mencintai Toni.


Maka dari itu, bagi Toni hari ini bukanlah hari ulang tahun pernikahan biasa. Ini adalah hari saat cintanya akhirnya bersambut. Cinta dari wanita yang telah ia idamkan bahkan sejak masa remajanya.


“Hari ini, aku yang akan membuatkanmu sarapan, Ratuku.” Toni mengecup pelipis Rika sambil mengelus pelan bahu terbuka wanita itu.


Perlahan Toni memindahkan kepala wanita yang dicintainya itu dari dada bidangnya ke bantal empuk di sebelahnya. Ia berusaha melakukannya dengan gerakan selembut mungkin agar wanitanya tidak terbangun dan terganggu tidurnya.


“Aku ingin membuatkan kejutan untukmu, Sayang. Biarkan aku yang memasak pagi ini,” bisiknya di telinga Rika yang dibalas dengan desahan kecil.
Toni tersenyum. Bergegas ia bergerak ke dapur, takut Rika terbangun dan rencananya gagal total.


Namun, siapa pun yang mengenal Toni tahu pria tampan dengan tinggi semampai itu tidak bisa memasak apa pun. Maka Toni menatap dapur dengan wajah bingung. Tak ada satu benda pun di sana yang dapat memancing ide muncul di kepalanya.


“Apa yang harus aku buat?” desisnya sambil menggaruk kepalanya.


Setelah beberapa waktu belum juga dapat memutuskan harus membuat apa, ia menyerah. Toni mengambil telepon pintarnya dan berselancar di dunia maya. Mencari terus mencari. Menyesuaikan pencarian dengan bahan yang ada di lemari pendingin.


Sepuluh menit berlalu tanpa terasa dan Toni masih belum menemukan resep yang mudah dibuatnya. “Apa yang harus aku buat?”


Di saat itulah, matanya melihat setumpuk roti tawar dan sebungkus kopi arabika kesukaan istrinya. “Mungkin … roti bakar dan segelas kopi sudah cukup.”


Dihidupkannya kompor gas, lalu meletakkan teflon di atasnya. Perlahan dia mencoba mengingat-ingat bagaimana istrinya jika sedang berulah di dapur. “Pertama, Rika biasanya mengoleskan mentega ke tiap roti.”


Dia mengambil roti tawar selembar, lalu mengoleskan perlahan mentega yang baru saja ia keluarkan dari rak atas. Baru juga selesai satu lembar, ia lalu teringat sesuatu. “Air panasnya belum dimasak!”


Segera ia bergerak ke teko pemanas air, memencet tombol cook dan kembali ke roti-rotinya. Ia mengoles lagi selembar demi selembar sampai hidungnya mencium sesuatu.


“Asap!”


Dengan segera ia bergerak menuju kompor dan teflon yang sudah terlalu panas itu. Bingung. Apa yang harus dia lakukan? Panik.


Ia menatap ke arah roti yang telah diolesi dengan mentega. Tanpa pikir panjang ia langsung mengambil selembar roti itu dan melemparkannya ke dalam teflon. Teflon itu mendesis bersamaan dengan bunyi desisan dari teko pertanda air sudah matang.


Ia tinggalkan rotinya dan mengambil bungkusan kopi, cangkir dan gula. Ia menatap bingung pada ketiga benda yang ia ambil.


Ia belum pernah menyeduh kopi. Jangankan menyeduh kopi, menginjak dapur dan menghidupkan kompor seperti yang sedang ia lakukan merupakan yang pertama baginya. Bagaimana caranya ia tahu berapa takaran yang pas untuk kopi dan gula ini?


Ia mencoba mengingat kembali bagaimana Rika membuatnya, mencoba meniru kelakuan Rika di dapur yang biasanya hanya ia perhatikan dari jauh. Ia menyiduk tiga sendok kopi dan memasukkannya ke dalam cangkir. Ia mengambil gula lalu menyiduk satu sendok yang langsung menyusul kopi tadi.


Lalu bau gosong tercium kembali. Ia butuh waktu beberapa saat untuk mengetahui bahwa roti yang ia panggang sudah gosong. Ia kembali ke wajan dan memindahkan roti ke piring saji. Masih belum putus asa, ia memasukkan lembaran selanjutnya ke atas wajan, berharap kali ini ia berhasil memasak roti bakar itu dengan sempurna.


Sambil menunggu, ia mengambil teko air panas dan menyeduh kopi. Ia mengaduk perlahan hingga ia yakin kopi, gula dan air panas sudah tercampur dengan rata.


Paling enggak, kopi ini akan terasa sangat enak. Bangganya dalam hati menatap puas kopi buatannya itu.


Ia beralih ke wajan dan sekali lagi, mendapati rotinya gosong. Ia mendesah sedih.


“Kamu sedang apa, Sayang?” Rika sudah bangun. Keluar dari kamar dengan hanya melilit tubuhnya dengan selimut. Rambutnya berantakan. Walaupun begitu, Toni masih tetap terpesona pada Rika-nya.


Cantik.


“Ton, kamu … masak?” tanya Rika setelah mengamati seluruh keadaan dapurnya pagi itu.





Dan Toni pun kembali ke kenyataan. Ia melirik ke roti bakar gosong yang ada di wajan dan di piring saji, lalu ia mendesah. “Yah, tadinya aku ingin membuatkan kejutan untukmu. Tapi … sepertinya gagal.”


Toni mengambil piring roti bakarnya lalu meletakkannya di meja, tepat di depan Rika yang tengah duduk menanti sambil tersenyum. “Paling tidak, walaupun roti ini tidak bisa kubanggakan, mungkin yang itu bisa.”


Rika menatapnya penuh tanda tanya. Toni bergerak ke dapur sekali lagi, mengambil secangkir kopi yang sudah ia buat, lalu meletakkannya di hadapan Rika.


Rika menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Tersenyum. “Kamu membuat ini semua?”


“Maaf. Bentuknya tidak sempurna. Rotinya gosong. Yah, aku memang tidak berbakat memasak.” Toni tersenyum ganjil. Hatinya campur aduk, ia kecewa pada dirinya sendiri. Hanya roti bakar dan ia tetap tidak bisa membuatnya. Pantas saja Rika butuh tiga tahun untuk mencintainya.


“Kamu bukan tidak berbakat, Sayang,” Rika menarik lengan Toni untuk duduk di kursi. “Kau hanya belum terlatih. Orang berbakat pun butuh latihan. Butuh latihan berkali-kali untuk bisa membuat roti bakar, kau tahu?”


“Benarkah?”


Rika mengangguk. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu masak?”


“Happy Anniversary, Rika.” Ucapnya pada Rika. “Tadinya, aku ingin membuat kejutan untukmu dengan bikinin sarapan. Tapi, yah, kamu bisa lihat sendiri hasilnya.”


Rika tersenyum, melingkarkan tangannya di leher Toni dan mencium bibir suaminya itu. “Terima kasih, Sayang. Jadi, mana di antara kopi dan roti ini yang paling kamu banggakan?”


“Hum, kopi! Dia terlihat paling enak di antara yang lainnya.”


“Oke, kalau begitu aku coba kopinya terlebih dahulu.”


Rika mengambil cangkir di hadapannya. Perlahan menyesap cairan hitam di cangkir itu. Ia terlihat berpikir sejenak sebelum berkata, “Oke, Toni, aku ralat ucapanku tadi. Kamu memang tidak berbakat.”


Toni mengambil cangkir kopi di hadapan istrinya dan, “shit, ini pahit sekali.”


Lalu, mereka tertawa bersama.


“Lain kali, tidak akan kubiarkan suamiku yang tampan ini, menyentuh dapur.”


* * *

Share:

0 komentar

Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.