Tersesat Dalam Bias Hype
“Is it the next Big Thing or Merely the shiny new object”
Dikutip dari buku “Fooled By The Hype”
Tahu istilah 'Join The
Bandwagon'? itu adalah kegiatan ikut-ikutan pada pergerakan massa. Sekali lagi
kegiatan ini dilakukan di media sosial. Tahu istilah 'remaja edgy'? ini
juga satu dari sekian banyak kegiatan yang lagi santer dilakukan massa sekali
lagi, di media sosial.
Tahu Tahu Bulat? Atau Es Kepal
Milo? Ini juga makanan yang sempat in.
Atau berbagai kegiatan lain
seperti Keke Challenge, Korean Fever, dan lain-lain sebagainya.
Ke semua kegiatan itu adalah
bentuk dari hype. Apa itu Hype? Hype adalah sebuah bentuk promosi yang
dilakukan secara masal dengan memberikan sugesti ke masa bahwa 'konten atau
nilai yang sedang dipromosikan' adalah sesuatu yang berharga dan penting.
Influencer (baik youtuber,
vlogger, instagram user, atau pembuat konten)
biasanya menggunakan hal-hal ini sebagai media mereka mempromosikan
produk atau jasanya. Psstt… penulis juga bisa melakukan ini, loh!
Cara yang digunakan bisa banyak,
tapi polanya sama:
- Lempar sesuatu (entah itu postingan yang clickbait, informasi ga penting, produk, jasa) ke ranah publik dalam waktu atau jumlah terbatas;
- Ajak dan yakinkan orang lain/massa untuk melakukan hal yang sama;
- Biarkan massa mengerjakan tugasnya sambil terus menerus melakukan poin 2.
Hal seperti ini yang bikin sebuah kiriman bisa viral dan booming.
Produk yang jadi 'in' menggunakan
pola ini adalah Es Kepal Milo, Buble Tea, es Krim Thailand, Thai Tea dan lain
sebagainya. Produk yang sedang in atau
sedang dalam radar 'hype' biasanya dipercayai memiliki kualitas bagus.
–––
“Hype tells us something, but it doesn’t tell us everything”
-kutipan dari buku “Fooled By
The Hype”-
–––
Sayangnya, hype tidak selalu
menghasilkan dan menawarkan hal yang bagus. Sebut saja Obat Pelangsing, Pemutih
Kulit, Pemanjang Bulu Ketek, atau yang paling parah Berita Hoax. Yah, ini
contohnya ekstrim semua, sih.
Hype jenis ini kita bisa sebut
sebagai Hype Bias. Apa itu Hype Bias ? Hype Bias adalah kondisi di mana hype
diartikan sebagai penentu kualitas dari sebuah produk bagus atau tidak.
“Eh, toko ini lagi ramai loh diomongin di sosial media.”
“Ini enak banget loh kayaknya, lagi sering dibahas,”
“Uy, baju ini lagi trending,”
“Eh, tahu enggak vlogger yang itu, lagi ‘in’ loh… ”
Contoh kasus paling mudah adalah
ketika kita melewati dua restoran saat sedang lapar. Keduanya menjual jenis
makanan yang sama. Keduanya belum pernah kita kunjungi. Yang satu restorannya
sangat ramai. Bahkan sampai antri. Sementara yang satunya, kosong melompong.
Bahkan kita bisa melihat debu dan sarang laba-laba yang tertiup angin. Restoran
mana yang kelihatan lebih meyakinkan dan enak?
Tentu yang lebih ramai bukan?
Padahal kita belum pernah mencoba di restoran itu. Tapi kita yakin saja bahwa
restoran yang sepi pasti lebih tidak enak dari restoran yang ramai.
Nah, banyak produsen justru
menggunakan Hype ini untuk memasarkan produk mereka. Tidak masalah kualitas
jelek, yang penting viral. Setelah viral, lebih mudah mengatur pasar.
Ohohoho, penulis yang menggunakan
trik marketing ini juga ada, hohohoho.
Terakhir, sebenarnya hype atau
tidak itu semua hanya trik marketting. Kita bisa saja menggunakan trik ini
untuk memanipulasi pasar. Tidak masalah. Tapi jangan sampai, pasar kita hilang
setelah Hype terbentuk. Lebih mengerikan konsumen yang kecewa daripada konsumen
yang tidak beli.
Jadi, menurut kamu gimana?
===============================
Catatan ini berasal dari buku:
Fooled by The Hype
yang Umi tulis ulang dengan mengkombinasikan hasil pemahaman dan
pengalaman Umi
==========================
Tulisan ini pernah dimuat di plukme. Namun plukme sudah tidak bisa diakses. Penulis memutuskan utnuk mengupload ulang di sini.
Tags:
artikel
0 komentar
Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.