Hinata Umi's Work

[Random Thought of Mine] Ketika Para Boomer Diminta Mengajar Online



Ini masa pandemi.

COVID19 atau yang lebih dikenal masyarakat kita sebagai Corona, memang sangat meresahkan. Hampir setiap lapisan masyarakat terdampak akibat virus yang belum ada obatnya ini. Dari yang muda sampai yang tua, dari yang kaya sampai yang miskin, dari yang pendiam sampai yang paling berisik. Semuanya terdampak, bahkan kurs mata uang kita pun terdampak akibat lambatnya penanganan pemerintah kita terhadap virus corona.

Padahal selama masa ini, ada cukup banyak kebijakan yang diturunkan pemerintah untuk dilaksanakan dengan taat oleh masyarakat Indonesia. Stay at home yang berarti 'diam di rumah', himbauan agar warga berdiam diri di rumah demi memutus rantai penyebaran virus. Jaga jarak sosial yang belakangan diubah terminologinya menjadi jaga jarak fisik, anjuran untuk menjaga jarak minimal satu meter jauhnya antar individu. Work from home yang bermakna 'kerja dari rumah' dan school from home yang berarti 'sekolah dari rumah'. Istilah-istilah aneh yang dulu kita tertawakan dan terasa sulit untuk diterapkan, kini banyak yang berusaha untuk melakukannya. Bahkan, beberapa berusaha mempelajari caranya dengan benar.

Untuk siswa-siswi homeschooling, pejuang kreatif, freelancer, dan beberapa orang lainnya, istilah kerja dari rumah dan sekolah dari rumah bukan lagi istilah yang baru. Orang-orang seperti kami menyebutnya dengan remote work. Dulu, kami sering disebut ngepet atau memelihara tuyul karena intensitas keluar rumah yang bisa dihitung dengan jari.

Cerita menarik Umi temukan di salah satu kiriman yang dibagikan teman Umi. Kiriman itu berasal dari salah satu mahasiswa yang bercerita mengenai dosennya yang berumur tujuh puluh empat tahun. Mahasiswa tersebut bercerita bahwa kampusnya menerapkan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sebagai respons pencegahan pandemi. Salah satu dosennya yang cukup sepuh 'terpaksa' harus bisa mengajar tanpa ada mahasiswa di hadapannya. 

Menariknya, dosen tersebut merasa tidak nyaman menggunakan Zoom, salah satu perangkat lunak yang direkomendasikan sebagai video conference untuk PJJ. Karena itu, beliau mencari cara lain, yaitu dengan merekam video beliau mengajar di ruangan kelas kosong. Kalau kalian pernah nonton video tutorial,  kira-kira begitulah yang dilakukan beliau, ngomong sendiri ke kamera. Tidak hanya sampai di situ, saking tidak nyamannya beliau mengajar kelas yang kosong, di salah satu meja mahasiswa diletakkannya sebuah boneka pinokio peninggalan istrinya. Jadilah, di sepanjang video professor ini seolah berbicara dengan boneka tersebut.

It's kinda cute, and ... sad.

Meski pada kenyataannya, profesor ini punya banyak alasan lain mengapa akhirnya beliau tidak menggunakan Zoom (wawancara dengan beliau bisa dibaca di tautan berikut ini: The Professor Teaching To One Lone Pinochio Doll), cerita seperti ini dekat sekali dengan masyarakat kita. Seperti masalah istilah tadi, banyak masyarakat kita yang gagap. Sayangnya, kebanyakan yang gagap ini adalah orangtua-orangtua kita sendiri.

Tahukah kalian bahwa persentase penyebar hoaks terbesar ada di masyarakat dengan rentang umur 45 tahun ke atas? 

Tahukah kalian banyak orangtua kita yang masih panik ketika internetnya tidak menyala  padahal mobile data-nya dinonafktikan?

Tahukah kalian bahwa banyak orangtua yang masih bingung, bahkan tidak tahu dengan keberadaan teknologi video conference, video call, bahkan internet?

Kita marah-marah di sosial media tentang mereka yang percaya hoaks, tahukah kalau mereka yang menyebarkan itu pun bisa jadi tidak membaca kemarahan kalian karena echo chamber?

Inilah yang membuat Umi berpikir, apakah nanti ketika Umi sudah berada di titik itu, di titik umur orang yang mudah gagap, Umi akan juga seperti para Boomer?

Wallahualam bishawab.

* * *

Share:

4 komentar

  1. memang ya kadang suka prihatin dengan keadaan spt ini bgmn dengan orang2 yang memang gak ada internet , bgmn mereka bisa belajar. bagi yang ada dan setiap anak punya laptop , sih gak apa ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. hu um Mba, kadang sedih kalau melihat situasi sekarang ini. Tapi, mau bagaimana lagi. Kita cuma bisa pasrah

      Hapus

Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.