Kadang, kalimat-kalimat quote di PlukMe! Homepage ini menarik. Ada motivasi, ada fakta lucu. Cukup mengesankan. Tapi itu sebelum aku akhirnya membaca quote satu ini:
"Uangmu, uangku juga. Tapi uangku ya uangku. Ah, hanya perempuan yang bisa memahami ini." - Plukme
Untuk sedetik aku ingin mengumpat lalu melemparkan gawaiku ke dinding. Sayang urung karena harganya yang cukup mahal dan aku yakin tak sanggup lagi kubeli dengan kondisi keuanganku yang sekarang.
Dulu aku sempat berkata seperti itu pada suamiku. Lalu, suamiku berkata, "Um, kalau kayak gitu, kamu ga usah kerja saja. Kamu di rumah, jadi orang yang ngurus saya sepenuhnya. Untuk apa kamu kerja, saya tidak terurus, tapi secara materi tak ada yang terbantu di keluarga kecil kita ini?"
Kurasa itu ada benarnya. Sejak itu slogan "Uangmu, uangku. Uangku, Uangku." berganti jadi "Uangmu, uang kita. Uangku, uang kita,"
SilentSilia.
Itulah namamu. Kau selalu bermimik sendu. Tak pernah kulihat senyum. Hanya mata yang menatap kosong pada jalanan dan mobil yang lalu lalang di sini, di Dunia Bawah, Dunia yang katamu selalu membawa kehancuran.
Carl Felisius.
Itulah namaku. Katamu nama itu cocok untukku. Karena Felis artinya kucing, sesuai dengan garis lahir dari ayahku.
Kita telah bersahabat lama sekali. 2 tahun? 3 tahun? Lebih dari itu. Kita sudah bersahabat sejak umur kita masih 3. Kau dan aku bertemu di parkiran sepeda.
Tak kusangka saat itu aku akan mencintaimu sedalam ini. Sedalam lautan di Samudera Pasifik. Bahkan aku pikir, aku menganggapmu seperti adik saja. Kau lucu, kau manis. Persona mana yang tidak menyukaimu?
Aku menatap bando lotus yang ada di kepalamu. Terasa sangat elegan dengan wajah tanpa bibirmu. Wajah tanpa bibir yang sukses menjadi ciri khasmu di antara gadis-gadis lain. Sukses menjadikanmu gadis tanpa bisik-bisik gosip ala ibu-ibu sosialita. Sukses membuatku mencintaimu.
Aku pikir, kau juga mencintaiku.
Begitulah pikirku sebelum Laza ada di tengah kita.
Andai kau tak mengatakan namanya dengan binar bahagia, mungkin aku tak akan cemburu padanya.
Andai kau tak mengenalkannya padaku dengan mimik mendamba, mungkin aku tak perlu tak tidur siang dan malam.
Andai kau tak menyatakan cinta padanya tepat di depanku, mungkin aku akan bisa makan dengan tenang.
Andai kau tak...
Andai kau tak memberikan...
Andai kau tak memberikan undangan itu bersamanya...
.
.
.
... mungkin...
.
mungkin...
.
.
mungkin saja...
...Laza masih hidup dan tak bersimbah darah di tanganku hari itu.
Sungguh, maafkan aku, Cintaku SilentSilia.
Kau bertanya padaku mengapa tatapan mataku begitu pilu. Katamu aku
bagai sedang menghunuskan belati pada jantungmu setiap kali mata
kita bersinggungan.
Kau tahu?
Aku sungguh tidak tahu harus menjawab apa. Pertanyaanmu itu tak
mampu menghapus kegusaranku. Bukannya kau tak tahu pilu itu
penyebabnya apa. Belati itu dari tangan siapa. Bukan pula kau tak
tahu rasa terhujam itu muncul karena apa.
Sayang, kau hanya tak mau tahu. Kau katakan segala bulan dan
bintang akan satu di penghujung waktu. Tidak kukatakan. Bintang
telah lama meninggalkan bulan. Bahkan jauh sebelum Bulan menculik
sinarnya.
Bintang mana yang kau maksud?
Bulan mana yang kau panggil?
Adakah gerangan hati paham apa yang menyembuhkan luka penuh
tatap?
Namanya Nabiela. Setidaknya, begitulah yang orang-orang katakan padaku.
Ia gadis kurus tinggi semampai dan ayu yang membuatku berpikir sedang berpikir apa kedua orang tuanya saat mengusahakan kehadirannya. Mungkin kalian akan bertanya-tanya, mengapa aku harus menceritakan hal ini. Aku pun masih bertanya-tanya hingga sekarang, mengapa wajahnya tak bisa menghilang dari ingatanku?
Andai saja ..., andai saja dia tidak tahu, mungkin akan baik-baik saja keadaan kami sekarang. Tapi, rasa cinta itu berbahaya. Ia mampu membuat kita melewati batas dan memberikan energi lebih untuk mengatakan perasaan kita pada yang kita cinta.
Kini, yang bisa kutatap hanya lemari kaca yang mengurungku di dalam ruangan berisi puluhan tabung kaca lainnya yang berisi pria-pria sepertiku, juga seringai mengerikan dari gadis yang kucintai. Mulutku dibungkam oleh kain tebal, sementara tanganku terikat kuat.
"Kalian mencintai permukaan tanpa pernah mau tahu siapa aku." Nabiela tersenyum padaku, menggerakkan tangannya mengelus permukaan kaca seolah jemari itu dapat menembusnya menyentuh wajahku. "Pernahkah kalian bertanya atau setidaknya mencari tahu apakah aku ingin berwajah seperti ini? Seperti gadis manis? Anugrah, huh? Ini kutukan untuk pria sepertiku."
Dia lalu meninggalkan kami di dalam tabung-tabung ini tanpa bisa melakukan apa-apa untuk membebaskan diri.
"Nikmatilah, sekarang kalian akan bisa menikmatiku lebih dekat. Oh, iya, namaku Nabiel, bukan Nabiela," katanya sebelum menutup pintu ruangan ini.
* * *
Dalam rona merah keemasan, kata-kata manis itu menari ke udara. Janji-janji masa depan penuh asa. Melukis langit. Mengukir awan. Berhembus perlahan. Mewarnai satu demi satu guratan masa depan.
Tentang cincin itu. Tentang seberapa beratnya dibanding cinta. Hanya segitu. Tak terlalu banyak. Cuma segitu. Tak seberat itu.
Tentang mahar yang mengggurat masa depan nama-nama dan keturunan. Tentang ladang tempat bercocok tanam. Tentang gubuk tempat berlindung. Tentang kompor. Tentang sayur. Tentang pakaian. Tentang kecantikan dan ketampanan.
Lalu terukir bias. Cinta mendebur asa dengan realita. Sesat.
Kata tinggal debu. Semuanya luntur jadi abu.
Kemanakah lagi kaki harus melangkah jika tak ada lagi penuntun? Kemana? Sedang janji yang tergurat di awan terhembus angin. Sedangkan lukisan di langit sana sudah tersapu badai hitam. Sedangkan... kata-kata itu sudah menari, pergi.
Sesat. Kemana laagi kaki ini harus melangkah, Sayang?
Jadi ceritanya hari ini Umi dan Suami pulang bareng.
Ini jarang banget terjadi. Soalnya jam pulang kerja kami beda. Mas pulang jam 4 dan Umi pulang jam 5 sore. Mas biasanya udah di rumah jam 6 atau jam 7, Umi baru sampai sekitar jam setengah 8 sampai jam 8. Kita udah sepakat untuk ga tunggu-tungguan karena takutnya yang satu kelamaan nunggu.
Singkat cerita kami ketemu di salah satu Mall dekan Stasiun Bekasi dan makan di tempat yang kami suka. Lalu naik angkot menuju rumah.
Cerita menarik muncul ketika kami sudah sampai di simpang gang rumah dan harus jalan.
Umi: Masih pusing Mas?
Mas : Iya, beb, palanya nut-nutan.
Lalu lewatlah odong-odong dengan speaker memutar lagu "Syantik"-nya Siti Badriah. Sebentar saja tapi lagu itu sudah berhasil memutar sendiri di kepala Umi. Alhasil, bibir Umi pelan-pelan nyanyi ngikutin lagu yang masih terdengar walaupun si Odong-odong sudah mulai menjauh.
Umi : Emang lagi manja, lagi pengen dimanja, pengen berduaan, hanya dengan dirimu
Umi : tegaaaaaa, emangnya suara Umi jelek?
Mas : Masalahnya saya lagi pusing. Kalau gak pusing mah, Umi nyanyi satu album juga saya dengerin. Siapa yang gak seneng denger isitrinya nyanyi manja gitu?
Lalu Umi blushing. Ah si Mas, selalu gini~