Hinata Umi's Work

[CERPEN] Tentang Kamu, Nurul

Namanya Nurul. Lebih tepatnya Nurul Saadah.

Aku mengenalnya dari sebuah grup kepenulisan yang dibentuk oleh salah satu penerbit yang mengajakku bergabung menjadi editor. Aku menjadi editor di suatu kegiatan pembuatan antologi dan dia adalah salah satu peserta yang kudampingi.

Tadinya dia berada di dua grup kegiatan berbasis Whatsapp itu, dia ada di kategori puisi juga ada di kategori cerpen. Seiring waktu berjalan, mungkin lelah atau apa, dia mundur dari grup kategori cerpen dan fokus di kategori puisi. 

Pemalu, ramah, inisiatif adalah tiga sifat yang kulekatkan padanya sejak perkenalan pertama. Aku ingat pertama kali ia berani mengobrol secara privat di WA itu saat ia berulang kali gagal mengirimkan puisinya melalui email yang kucantumkan. Ia bertanya berkali-kali, berkali-kali yang jujur saja membuatku saat itu sangat bosan menjawabnya.

Tapi, sebagai pendamping, sebagai editor, sebagai admin, dan sebagai perwakilan dari penerbit yang meminta bantuanku apakah menurutmu adalah hal yang bijak jika aku bersikap tidak ramah?

Maka, sebagai orang yang bijak dan sebagai admin yang baik, aku pun membantunya, berkali-kali bahkan hingga tengah malam, memandunya mengirimkan email. Mana  kutahu, hal kecil seperti itu ternyata membuatnya jadi lengket padaku. Sesuatu yang kurasa bahkan dalam imajinasi terliar sekali pun tidak pernah terpikir olehku untuk jadi nyata.

Suatu  hari dia berkata,"Umi itu nama aslinya apa, sih?"

Aku ingin tertawa tapi merasa aneh juga, soalnya aku  ingat sekali aku sudah menjelaskan panjang lebar mengapa aku menggunakan nama pena Hinata Umi di grup kami itu. Tapi tak kukatakan, malah kuulangi penjelasanku itu."Umi itu artinya laut. Hinata itu artinya tempat yang diterangi matahari. Itu Bahasa Jepang. Umi suka dengan laut, juga suka dengan tokoh Hinata di anime Naruto. Hinata Umi artinya Laut yang mencerahkan. Jadi, yah, karena itu Umi menggunakan nama pena itu."

"Loh, aku kira kak Umi itu dari Ummi. Artinya Ibu dalam bahasa Arab. Aduh, aku jadi malu sekali sudah asal menduga," katanya padaku melalui pesan singkat Whatsapp.

Dari situ, ia sering mengirimkan pesan Whatsapp padaku. Kadang cuma bilang 'halo'. Kadang cuma menceritakan kegiatan sehari-harinya. Padahal meminta pun aku tidak. Bertanya pun aku tak pernah. Dia seperti begitu saja menganggapku orang yang penting. 

Suatu hari dia bilang ingin curhat padaku tentang abang-abangnya yang menyebalkan. Atau tentang keluarganya yang isinya hanya kakak laki-laki yang memanjakannya. Atau tentang ibu bapaknya yang mengiyakan semua permintaannya. 

"Aku sayang mereka, Kak Umi, tapi aku ingin, kadang ingin sekali bebas. Tidak melulu ada di sini, di Rembang. Berada di pondok ini saja pun rasanya menyiksa sekali. Ingin berteman. Ingin bisa ngobrol dengan banyak orang. Tapi mereka tidak mengijinkan. Kenapa, sih, jadi perempuan itu ribet. Mas Abil saja bisa  ke sana-ke mari sesuka hatinya, kenapa aku enggak bisa, kak Umi? Kenapa aku harus lahir jadi perempuan?" katanya suatu hari. Aku ingat aku sedang rapat, dan membalasnya baru setelah beberapa jam kemudian.

"Mereka keluargamu, Nurul. 55:13, Nurul. Nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?" Begitulah jawabanku waktu itu. Aku bisa berempati dengan kondisinya, juga bisa berempati dengan sikap keluarganya yang over-protektif padanya.

"Kenapa, sih, kakakku laki-laki semua?! Kenapa tidak ada yang perempuan?! Mas Abil gitu jadi Abila?!" katanya suatu hari membuatku tertawa terpingkal-pingkal. 

Ya Allah, anak ini ada-ada saja! Kekanak-kanakan sekali! Terbayang olehku potret Mas Abil bersama istri dan anak-anaknya yang pernah dia kirimkan padaku dengan jilbab pink. Astaga, semakin aku tertawa terpingkal-pingkal. Aku sampai lupa membalas pesan itu saking tak kuatnya harus tertawa terus.

"Kak Umi, mau enggak Kak Umi jadi kakakku?" tanyanya suatu hari. 

Pertanyaan yang membuatku menghela napas. Pertanyaan yang tidak sekali ia tanyakan dan tidak sekali juga kujawab dengan jawaban yang sama. "Tidak. Aku tidak mau jadi kakakmu. Menjadi kakak tanggung jawabnya besar. Merawat kedua adikku saja aku tak becus. Bagaimana ceritanya aku mengangkatmu sebagai adik, Nurul. Tidak! Jawabanku adalah tidak."

Aku tahu ia menangis dengan jawaban itu. Aku juga tahu, mungkin aku juga orang yang paling tahu bagaimana rasanya menginginkan sosok kakak. Bagaimana tidak? Seumur remajaku, aku tumbuh dengan membayangkan memiliki seorang kakak yang bisa memanjakanku, tak peduli perempuan atau itu laki-laki. Aku tumbuh dengan berusaha menjadi seperti seorang kakak yang aku idam-idamkan untuk kedua adikku. Tanpa mencontoh siapa pun. Tanpa tahu  seperti apa sebenarnya sosok kakak yang baik itu.

Jadi, dari semua orang, mungkin aku yang paling tahu rasanya ingin memiliki kakak. Tapi aku memilih untuk menjawab, "Tidak!" padanya.

Suatu hari, ia berkata padaku, rambutnya rontok. Di hari lain, ia bilang muntah-muntah. Esoknya dia bilang kepalanya sakit. Coba kalian pikir, ada seseorang yang berkata padamu seperti itu, apa yang kau pikirkan? Tepat! Aku memintanya untuk  check up ke rumah sakit. Aku, saat itu, benar-benar khawatir. Kau tahu apa yang ada di pikiranku saat itu? Ia terkena entah Kanker Otak atau Tumor. 

Ia ... menurut. Sesuatu yang sungguh tidak aku duga. 

Selesai check up, ia menangis. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa padaku. Aku menunggu,  tapi ia tetap tak mengatakan apa-apa. Kudiamkan dan sengaja tak kutanyakan. Ia hanya mengirimkan Voices Note berisi tangisan terisak, membuatku terdiam. 

Jangan tanya betapa aku ingin bertanya "kenapa?" atau "ada apa?" atau "kenapa kmau menangis?"

Tapi tidak kulakukan. Aku, khawatir itu hanya akan menambah cemas isi hatinya. Aku memilih diam. Tak membalas apa pun. 

Hingga akhirnya, tepat dua pekan sebelum hari itu, hari yang mengubah hubungan kami, ia berkata padaku, "Kak Umi, aku ... takut."

Aku saat itu sedang menulis. Sedang fokus mengerjakan cerpen untuk antologi yang sedang aku ikuti. Mataku mengernyit. Tidak biasanya dia mengatakan hal seperti itu. 

"Takut apa?"

"Aku ... dua minggu lagi akan operasi. Kepala ini akan dibelah. Aku ... takut tidak bisa hidup lagi. Aku ... takut melupakan semua orang," katanya.

Aku  yang sudah menduga apa yang sebenarnya terjadi padanya membalas, "Ikhlas, Nurul. Semua  sudah ada jalannya. Tak peduli seberapa pun kau berusaha menghindar, kematian akan datang. Jika memang dengan operasi bisa menyembuhkan apa pun yang ada di kepalamu itu, lakukan."

"Tapi aku takut, kak Umi.  Kau Umi gak tahu betapa takutnya aku!"

"Aku tidak tahu dan tak berharap untuk tahu! Tapi, takut adalah hal yang wajar. Kau takut? Ya sudah, apa salahnya untuk takut? Kau manusia! Takut itu manusiawi."

"Aku takut, kalau aku mati bagaimana?"

"Ya sudah, berarti kamu akan tinggal di kuburan menanti hari kiamat sambil nonton perjalanan hidupmu."

"Kalau aku lupa sama Ummi, Abah, Mas Abil atau ... atau aku lupa sama kak Umi, bagaimana?"

"Ya sudah, kalau kamu lupa, kamu pasti akan ingat lagi keluargamu. Mereka ada di sana bersamamu. Pasti menemanimu sampai kamu sadar. Sedang aku? Jangan jadikan aku alasan untuk melemahkanmu, Nurul. Kau lupa padaku pun tak apa, aku ini pernah bertemu denganmu saja tidak. Kalau kau lupa padaku, ya sudah. Kau akan meneruskan hidupmu."

"Tapi ... aku benar-benar takut! Kenapa kak Umi tak punya perasaan sama sekali?!" katanya marah padaku. Entah apa yang sebenarnya dia harap aku katakan saat itu.

"Iya, kamu takut. Umi tahu kamu takut. Tapi, kalau Umi biarkan kamu takut dan tak jadi operasi, maka Umi akan menjadi orang yang sangat egois, tidak tahu diri dan tidak berperasaan pada keluargamu yang menyayangimu. Kamu sendiri, kan, yang bilang ke Umi bahwa penyakitmu itu harus di operasi?"

"I-iya, kak Umi."

"Nurul, jangan kamu kira, dengan kamu bercerita ke Umi, Umi akan mencegahmu operasi hanya agar kamu tetap mengingat Umi. Bahkan jika kamu harus melupakan Umi seumur hidupmu pun, Umi akan tetap memaksamu untuk operasi. Bahkan jika pada akhirnya kamu meninggal karena operasi itu pun, Umi tidak akan menyesal memintamu untuk operasi. Kamu tahu kenapa?"

"Kenapa, kak Umi?" 

"Karena operasi adalah satu-satunya jalan yang Umi tahu bisa menyembuhkanmu. Mungkin kamu yang anak pondok lebih tahu masalah ini, tapi selain berdoa, Allah juga minta kita ikhtiar, kan?"

"Iya."

"Keputusan ada di tanganmu, Nurul. Umi tetap merekomendasikanmu untuk operasi. Tapi yang mengambil keputusan adalah kamu. Bahkan jika keluargamu memaksamu untuk operasi dan kamu tidak mau, dokter tak akan bisa apa-apa."

Obrolan kami terhenti di situ hari itu. Malam itu aku tak bisa tidur. Tak tenang. Sungguh, aku takut sekali pada diriku. Aku menangis bercerita ke suamiku. Aku sungguh takut sudah merekomendasikan hal yang salah. Aku sungguh takut.

Dua minggu kemudian, tepat satu hari sebelum operasi, Nurul kembali mengirimkan pesan padaku. "Kak Umi, besok aku akan operasi. Hape ini akan dipegang Mas Abil untuk keperluan penerbitan. Mohon doanya. Maafkan aku jika nanti akhirnya aku melupakan, kakak."

Untuk pertama kalinya aku menangis. Dengan mengucapkan bismillah, aku membalas pesannya. "Iya, Nurul, tidak apa-apa. Selama berjuang. Jangan nyerah, ya, Nurul."

"Iya, kak Umi."

Aku memantau status-status yang dibuat oleh Mas-nya. Progres operasinya. Bahkan Mas-nya pun, memberi kabar padaku secara langsung. Beberapa kali juga memancing obrolan akrab denganku. Kesalahan fatal pertama kubalas dengan dingin. Aku ingat ia beberapa kali mengingatkanku untuk tidak terlalu dingin padanya.

Aku memang sudah punya kesepakatan dengan suami untuk tidak berakrab-akrab ria di pesan pribadi dengan pria lain. Kami berdua pencemburu. Maka dari itu, sebenarnya aku terganggu dengan chat-chat dari Mas-nya. Sudah kukatakan berkali-kali mengenai ini.

Tidak sekali dua kali Mas Abil mengirimkan pesan padaku. Tidak sekali dua kali pula, aku mengingatkannya untuk tidak mengirimkan pesan padaku karena ia adalah pria, beristri pula. Aku dan suamiku terganggu. Aku pun khawatir istrinya terganggu. Yang benar saja, dia sudah punya dua anak gadis!

Lalu suatu hari, mungkin entah terlalu senang atau memang senagaja, jam dua dini hari, Mas Abil, mengirimkan pesan padaku bahwa Nurul sadar. 

Jam-dua-dini-hari, seorang ustadz di sebuah pondok pesantren, mengirimkan pesan kepada seorang wanita bersuami. Sebagai mantan anak tarbiyah yang masih aktif dalam sebuah liqo' mingguan yang sudah bersuami, aku benar-benar tak habis pikir dengan kelakukannya. Bagaimana bisa seorang ustadz tidak tahu ada jam malam untuk mengirimkan pesan pada seseorang, terutama yang berstatus sebagai istri orang? 

Suamiku marah besar padaku pada pagi harinya. Aku marah pula pada beliau. Kami bertengkar hebat. Butuh waktu seminggu untukku akhirnya bisa meredakan kemarahan suamiku. 

Setelah itu aku kirimkan pesan ke Mas Abil untuk tidak lagi menghubungiku jika tidak penting dan bukan siang hari. Ia berjanji tak akan mengirimkan pesan padaku lagi. Sementara aku, sudah tak lagi mendapatkan kepercayaan suamiku terhadap pesan yang dikirimkan dari nomor Nurul. Bagi suamiku, semua pesan yang dikirimkan oleh nomor itu, bukan dari Nurul sendiri, itu adalah pesan modus dari Mas Abil.

Aku kira, setelah Nurul sadar, nomor itu akan dipegang oleh Nurul. Ternyata tidak. Proses pemulihannya masih lama dan Nurul masih tidak diijinkan untuk memegang sendiri gawainya. Di sinilah masalah tambah runyam. Berbagai permintaan aneh Mas Abil membuatku dan suamiku semakin panas. 

"Mba Umroh, boleh minta pesan untuk Nurul supaya dia mau makan?"
"Mba Umroh, boleh minta kirimkan voices note untuk Nurul supaya dia mau semangat lagi?"
"Dari semua temannya, dia hanya ingat dengan, Mba Umroh."

Entah bagaimana aku harus bersikap. Apakah itu pesan penting? Di mata suamiku, itu tidak lebih dari pesan modus dari Mas Abil padaku. 

"Dia cuma mau dengar suaramu," kata suamiku membaca semua chat itu. 
"Jangan dibalas! Aku tidak ridho," kata suamiku lagi.

Berkali aku yakinkan suamiku bahwa itu demi Nurul yang sakit. Berhasil. Tapi ia butuh bukti, bukti bahwa itu memang untuk Nurul, bahwa Nurul memang sedang sakit. Saat itulah, aku minta pada Mas Abil untuk mendapatkan foto Nurul.

Mas Abil menjawab tidak mau, namun masih tetap memaksaku untuk mengirimkan pesan suara untuk Nurul. Bahkan sampai memohon. Ya Allah, rasanya kepala ini mau pecah. Di satu sisi, aku ingin membantu, tapi di sisi lain aku tidak mau memperkeruh hubunganku dengan suamiku. 

Setelah berkali-kali Mas Abil menolak mengirimkan foto, aku memilih tidak mengirimkan pesan suara itu.

Keesokan harinya aku disindir melalui status Whatsapp-nya. Aku bahkan sampai detik ini masih ingat betapa sakitnya hati ini saat membacanya. Sehari, kubiarkan. Dua kali, kubiarkan. Ternyata dia jadi kebiasaan. Maka dari itu, kuputuskan untuk menggunakan cara yang sama. Namun tidak menyindir, tapi langsung bilang bahwa dia bukan laki-laki karena menyelesaikan masalah dengan cara membuat status Whatsapp.

Ia membalas, lalu minta maaf. 

Tapi lusanya diulangi lagi. 

Perlahan, benci dan muak tumbuh di hatiku pada nomor itu. Aku tak lagi peduli ada siapa di belakang nomor itu. Nurul atau Mas Abil. Aku tak peduli. Aku sudah tak suka pada nomor itu.

Berkali hingga akhirnya aku dan suami pun sepakat untuk tidak meladeni lagi siapa pun orang yang ada dibalik nomor Nurul itu. Oh jangan salah, aku tetap memantau keadaan Nurul, walau pun sesekali hatiku masih sakit jika membaca sindirannya karena tak mau membantu.

Aku dan suami juga sepakat untuk menuruti permintaannya. Aku kirimkan pesan suara itu, juga pesan agar Nurul mau makan. Demi Nurul, juga demi ketenangan batinku agar tak lagi melihat kalimat-kalimat menyalahkan secara halus, atau kalimat-kalimat sindiran darinya. 

Hingga akhirnya, tiba saatnya Nurul bisa kembali menggunakan gawainya kembali tanpa bantuan Mas Abil. Seluruh pesanku dengan Mas Abil dihapus. Tak ada jejak bukti apa pun. Nurul tak tahu apa pun tentang permasalahanku dengan abangnya. 

Sedihnya, aku sudah tak bisa melihat nomor itu sebagai ... Nurul.

Aku sudah menumbuhkan benci yang tak perlu. Itulah ... yang membuatku tak lagi peduli padanya. Dingin. Kalian yang membaca ini mungkin akan berkata aku tidak adil, tapi hatiku sudah terlanjur tak suka.

Dan ... begitulah, Nurul.

Aku tak membencimu. Tapi ... maaf, aku tak bisa lagi melihatmu seperti dirimu sebelum semuanya terjadi.

Aku sudah memaafkan, Mas Abil. Tapi melupakan semuanya, aku tak mampu. Trauma dan bayangan kemarahan suamiku, juga rasa tak suka suamiku pada Mas Abil, tak bisa kuabaikan begitu saja. 

Semoga kamu paham. Cepatlah sembuh. Cepatlah sehat. Ana Uhibbuki fillah. Maaf, tak  bisa menemanimu sampai akhir.


***

Share:

0 komentar

Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.