Hinata Umi's Work

Flash Fiction: Rembulan

"Kau tahu, Rangga. Aku dan kau serasi. Kita berasal dari hal yang sama. Kau adalah rembulan. Aku juga rembulan. Kita bersama. Jadi sebenarnya kita tak akan terpisahkan," ucapnya menatapku dalam. Mencoba menghentikan keputusanku. Mencoba mencegahku untuk mengatakan apa yang aku pikirkan. Mencegah semua kemungkinan buruk yang akan terjadi. Agar aku mengurungkan niatku.

"Alin ... tahukah kau? Rembulan tak dapat bercahaya sendiri. Ia butuh matahari untuk menyinarinya. Ia butuh bintang untuk bersinar. " Kalimatku menggantung di langit-langit mulut. Sungguh berat untuk mengatakannya. Sungguh aku tak ingin mengatakannya. Ini sungguh akan menyakitinya. Sekali lagi, untuk entah ke berapa kalinya hari ini, aku menghela nafasku sebelum akhirnya melanjutkan kalimat penting yang sudah seharusnya aku katakan dari dahulu padanya.

"Begitu pula kita." Kutatap matanya dalam. Membalas tatapannya yang terluka. Aku harus menguatkan diriku. Kami tak bisa kemana-mana dengan perasaan ini.

"Kita tak akan bersinar kala bersama. Karena kita adalah rembulan. Rembulan yang butuh bintang untuk bersinar. Carilah bintangmu Alin. Seseorang yang dapat menjadikanmu bintangnya. Seseorang yang dapat kau jadikan bintangmu. Aku... tak bisa menjadi bintangmu dan tak bisa menjadikanmu bintangku. Karena di hatiku, ada Bintang lain yang telah lebih dulu membantuku bersinar."

Akhirnya, aku berhasil mengatakan kata itu. Terlihat jelas di mataku betapa Alin tersakiti dengan kalimat itu. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tak boleh terus menerus menyiksanya sementara hatiku tidak padanya. Sementara aku tersiksa kala bersamanya. Semakin lama aku bersamanya, semakin besar luka itu. Semakin aku tak akan tega untuk melepasnya. Dan aku tak ingin mencintainya karena rasa tak tega itu.

***

Share:

0 komentar

Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.