Menikah. Satu kata itu sering terucap dalam doaku beberapa malam belakangan ini. Entahlah. Rasanya semakin ke sini, rinduku pada kebesamaan muda-mudi yang telah dihalalkan melalui akad itu semakin besar. Rindu besar yang menggebu untuk segera dipuaskan. Ada dahaga keinginan yang luar biasa di dalam diriku untuk segera menggenapkan dhien-ku yang separuh lagi.
Dua puluh satu umurku kini. Umur yang entahlah, katanya adalah umur emas untuk melangsungkan pernikahan dan memiliki pasangan. Jangankan pernikahan, berbicara tentang pasanganpun kini aku enggan. Bukan karena apa-apa, setiap kali kata itu terucap dari bibirku, justru keinginan itu semakin besar, semakin membuncah dan semakin tak tertahankan.
Satu-persatu teman-temanku mempublikasikan tanggal pernikahannya. Iri. Satu-persatu mereka memposting foto-foto saat mereka bersanding dengan pasangannya di pelaminan. Iri.Satu-persatu mereka mepublikasikan foto mereka saat berbulan madu. Iri. Satu-persatu mereka memberi kabar sudah hamil. Iri. Satu-persatu mereka mengabarkan bahwa sudah akan melahirkan, meminta lantunan doa untuk si buah hati. Iri. Sungguh, hatiku sungguh iri. Berkali-kali aku harus menahan diri untuk tak teriak dan menangis menahan kerinduan itu.
Membaca ini, mungkin om-ku akan berkata, "jangan menjadikan teman-temanmu sebagai tolak ukur kesiapanmu menikah, Um." Ya, aku tahu hal itu dengan sangat baik. Aku setuju dengan hal itu. Aku memang telah merasa siap menikah sejak lama. Sejak beberapa tahun yang lalu. Bahkan saat itu aku membayangkan bertapa indahnya kehidupan pernikahan sambil melangsungkan perkuliahan. Ya.. aku memang sudah lama merencanakan nikah muda.
Omku selalu bilang, "persiapkan saja dirimu. Belajar terus. Bagaimana cara menghadapi pasangan. Bagaimana cara berbicara. Bagaimana bersikap. Bagaimana mengganti pola pikir ke arah yang lebih baik. Bagaimana caranya beradaptasi. Belajar. Belajar. Agar kelak ketika dia hadir, kau sudah siap untuk dipinang dengan baik. Toh kau tidak ingin dipacari bukan?"
Aku juga setuju dengan hal itu. Aku memang tak ingin dipacari. Aku takut. Bahkan ketika kinipun ada seseorang di sampingku, aku takut. Aku takut berlebihan mengungkapkan cinta. Aku takut berlebihan menunjukkan sayang. Aku takut terlalu berlebihan menyandarkan diri. Sedang ia bukan halal-ku. Belum halal untukku melakukan itu semua dengannya.
Tulisan ini tidak kutuliskan untuk membuatnya menyegerakan apa yang seharusnya disegerakan. Tidak. Ini murni curahan hatiku. Memendam ini terlalu lama membuatku tak mampu berpikir jernih. Sering mendesak sesuatu sebelum saatnya. Dan aku takut terlalu memaksakan kehendak padanya dan pada-Nya.
Ah, andai saja sedikit saja kesabaran yang sering dilantunkan dengan indah oleh om Tere Liye mampu bersandar di hatiku dan mengenyahkan rindu akan menikah itu, sedikit saja dari hatiku, mungkin pemikiranku akan jauh lebih sederhana. Sepertinya aku memang harus benar-benar berserah diri saja. Memasrahkan semuanya secara sungguh-sungguh pada-Nya. Semoga aku diberi kesabaran yang lebih. Aamiin.