Hinata Umi's Work

Flash Fiction: Mepet Deadline

Cerita ini diikutkan dalam Tantangan Menulis Kastil Mimpi edisi 15

-Umi Hinata-

* * *


Aku tidak suka lagu ini! 

Lagu ini membuatku ingat cerita Putri Serigala yang mengadakan ritual Bulan Merah. Ritual berburu bangsa Manusia Serigala yang dilakukan saat bulan purnama merah. 

Aku tidak suka lagu ini! Musiknya tidak menyenangkan. Dengan suara penyanyi yang sok diserak-serakkan. Apa bagusnya?

Waktu pertama kali Kastil Mimpi mengeluarkan tantangan Songlit, aku senang sekali. Tapi kebahagiaanku sirna saat tahu lagu apa yang dijadikan tema. The Howling dari Within Temptation. Kenapa harus lagu ini, sih? 

Aku tak habis pikir, apa yang ada di pikiran Om-om (sok) Vampir dan Emak-emak (banyak) Nama itu memilih lagu rock menjadi tema tantangan kali ini. Apa susahnya, sih, memilih lagu semacam ‘Dengan Caraku’-nya Arsie dan Brisia, atau ‘Gajah’-nya Tulus? 

Ini hari terakhir, tepatnya dua jam menjelang tenggat waktu yang diberikan dan aku masih berkutat dengan lagu berisik nan menyiksa dipadu dengan otak yang tak bisa berkonsentrasi. Dua jam lagi, tak satu kata pun tertuliskan di layar laptopku.

Tega sekali kalian Min Lyc, Min Meg. Tegaaa!

Oke, mengeluh tidak akan menyelesaikan masalahku saat ini. Kurasa aku harus mencoba menuliskannya. Mana tadi video Youtube-nya? Sial, masih dimuat! 

Suara ketukan di pintu kamar memecah konsentrasiku. “Putri, dua jam lagi bulan purnama merah, kita harus segera berkumpul di Balai Para Tetua.”

Siapa itu? Ta-tadi sepertinya aku sudah mengunci pintu rumah. La-lagipula Mas Heru, kan, lagi perjalanan dinas keluar kota. Lalu, itu tadi … siapa?

“Auuu …,” suara lolongan serigala di kejauhan membuat kakiku bergetar.

Aku tinggal di tengah kota, bagaimana mungkin aku bisa mendengar suara lolongan serigala?

Kutepuk pipiku pelan, mencoba menyadarkan diriku sendiri. Sepertinya, aku terlalu terpengaruh lagu yang sedang kudengarkan. Serigala? Mana mungkin ada serigala di Bekasi! Yang benar saja, Um?

Ya sudah, ayo menulis lagi!

Sampai mana aku tadi? Ya Tuhan, masih proses memuat juga?

“Auuu ….”
“Auuu ….”

Lolongan serigala lagi. A-apa aku seharusnya tidak usah mengumpulkan TMKM 15, ya? Ra-rasanya lagu ini membuatku berhalusinasi.

“Putri, sudah pukul setengah sebelas, bulan purnama merah sudah mulai terlihat.” Suara itu terdengar lagi dari luar kamarku. “Bulan akan purnama penuh pada jam dua belas. Kau harus segera bersiap-siap.”

“Ka-kamu siapa? Gimana caranya kamu bisa masuk?” jawabku. Sungguh aku takut. Lihat! Bulu kudukku saja kini menolak kembali ke posisi santai!

“Anda harus ingat bahwa ini adalah ritual tahunan ras kita. Jangan sampai leluhur mengutukmu!” jawab suara itu, masih dari luar pintu.

Ritual apa? Ras apa? Aku tak paham? A-aku manusia, kan, Mak? Yah?

Lolongan serigala bersahut-sahutan di luar. Membuatku semakin ngeri dengan apapun yang akan kuhadapi. 

Tiba-tiba dari balkon kamar kudengar suara hentakan serempak. Seperti beberapa orang sedang menghentakkan kaki dan bagian tumpul tombak tiap dua detik sekali secara bergantian. 

“Bunuh!”
“Buru!”
“Bunuh!”
“Buru!”

“Auuu!”

Aku terperanjat dan melompat dari kursiku. Aku menangis. Apa ini?! Ya Tuhan! 

Lalu, video The Howling yang tadi masih dalam proses muat gara-gara sinyal internet-ku yang jelek, dengan kurang ajarnya terputar di laptopku. 

Jantungku berdegup kencang. Darahku mengalir deras. Keringat mengucur tak berhenti. Ya Tuhan! Bagaimana ini?

"Putri, tolong buka pintunya!” perintah suara di balik pintu kamarku.

“Bunuh! Buru! Kapan! Bunuh! Buru! Kapan!” sahut-sahutan suara di depan pintu balkon kamarku. 

Saya kutuk kamu jadi stupa, kalau gak nulis TMKM.

Jadi penulis harus punya nyali.

Kurang ajarnya otakku memutar kata-kata Mak Meg dan Om Lyc di saat seperti ini, dan kenapa idenya baru muncul sekarang? Aku menangis miris dengan keadaanku. 

Suara angin kencang menambah rasa takut yang menderaku. Kutatap laptop yang masih memainkan lagu The Howling. Kampret!

“Putri Umi! Ini jam sebelas tepat. Jangan sampai tetua menuruni bukit belakang hanya untuk menjemputmu!”

Oke, jika harus mati sekarang, maka aku tak mau mati terkutuk karena tak menepati janji pada Cunul dan Nabiel untuk mengirimkan cerita TMKM. Aku juga tak mau membuat Mak Meg dan Om Lyc mengutukku jadi stupa. 

Aku akan menulis TMKM 15 ini. Sebisaku.

“Putri, segeralah keluar.”

100 kata.

“Bunuh! Buru! Auuu! Bunuh! Buru! Auuu!”

200 kata.

“Kenapa kalian lama sekali? Mana Umi?” tanya suara lain di depan pintu kamarku.

300 kata. 
Aku harus cepat, siapapun itu, aku yakin nyawaku terancam.

“Putri Umi masih di dalam, Pak Tetua. Tampaknya Putri sedang menulis untuk komunitas kepenulisan yang ia ikuti itu Tuan.”

500 kata. 
Musik The Howling memacu jantungku. Mereka semua semakin dekat. Anjir, aku bisa ngebut begini juga?

“Buka pintunya! Kita jemput paksa. Tanpa dia, ritual tidak akan berjalan.” kata suara yang lebih tua.

600 kata. 
Sedikit lagi, ini sudah mau akhir. Ya Tuhan, biarkan aku menyelesaikan ini. Kumohon!

“Bunuh! Buru! Bunuh! Buru!”

“Auuu!”
“Bunuh!”
“Buru!”
“Auuu!”

800 kata. 
Oke, kirim! 

Hening. 

Aku menatap sekeliling. Suara hentakan itu menghilang. Suara lolongan pun menghilang. Juga suara angin. Hening.

A-apa yang terjadi?

“Maafkan kami, Putri Umi. Kami harus menjemputmu secara paksa. Tanpa titisan Putri Serigala, ritual perburuan makanan tidak akan bisa dilakukan.” Ucapnya tiba-tiba ada di hadapanku.

… dan semuanya gelap.

* * *

Di Atas Karpet Bambu, 5 Oktober 2018

Share:

0 komentar

Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.