Hinata Umi's Work

Tak Bisa Apa-Apa

Banyak hal di dunia ini yang sangat ku benci. Terlepas dari kehidupanku yang membahagiakan dan selalu dimudahkan oleh Allah. Aku benci dengan pemikiran negatifku yang selalu muncul di saat yang tidak tepat. Aku benci dengan orang-orang di sekelilingku yang sepertinya selalu iri dengan kehidupanku yang dimudahkan. Aku benci dengan sifat-sifat burukku. Tapi, dari itu semua, hal yang paling aku benci adalah berada dalam posisi tidak berdaya. Tidak dapat berbuat apa-apa.

Dulu, aku pernah berada dalam kondisi ini. Kondisi ketidakberdayaan melawan orang-orang yang mem-bully-ku. Waktu SD. Tak urung berkali-kali mama berkata padaku untuk melawan mereka, tapi yang terjadi? Aku malah semakin takut untuk melawan. Semakin menjadi pendiam. Semakin membiarkan mereka merajalela. Pukulan, cubitan, tendangan, ancaman. Sudah menjadi makanan sehari-hariku. Aku terbiasa dengan tidak dapat berbuat apa-apa.



Dulu, lagi, aku pernah berada di dalam kondisi ini. Kondisi ketidakberdayaan mendapatkan perlakuan pura-pura baik orang lain. Waktu SMP. Hanya karena aku anak seorang guru. Hanya karena salah satu guru di SMP-ku adalah ayahku sendiri yang sangat kucintai. Tak pelak, aku selalu mendapatkan perlakuan istimewa. Tak ada yang dapat kulakukan dengan hal itu. Berulang kali menolak pun tak ada gunanya. Toh pada akhirnya aku tetap pada kondisi di mana mereka tak memahami bahwa aku tak peduli dengan diri mereka. Toh pada akhirnya aku juga bersikap 'sok' manis pada mereka. Aku terbiasa dengan tidak dapat berbuat apa-apa.

Dulu, lagi dan lagi, aku pernah berada di dalam kondisi ini. Kondisi ketidakberdayaan menjadi orang yang hanya bisa diam membantu temanku yang sedang PDKT. Tak bisa sedikitpun menolak permintaannya. Waktu SMA. Hanya karena kata 'sahabat' melekat di diriku. Aku tak bisa menolak. Tak pernah bisa. Menuruti kemauannya hanya agar ia dapat berdekatan dengan kekasihnya tercinta. Aku bisa apa kala ia ternyata merasa terganggu dengan kehadiranku? Tak ada. Aku tak bisa apa-apa. Aku terbiasa (lagi) dengan tidak dapat berbuat apa-apa.

Bahkan, kini, sekali lagi, aku berada dalam kondisi ini. Kondisi ketidakberdayaan menjadi orang yang menyukai seseorang yang sudah memiliki kekasih. Waktu kuliah. Padahal dulu mama berulang kali berkata, "jangan mencintai orang yang sudah memiliki." Namun, apa dayaku? Bukan aku yang meminta perasaan ini tumbuh. Bukan aku yang menginginkan perasaan ini ada. Bukan aku! Tapi sekali lagi apa dayaku? Bahkan untuk cemburu, marah, sedih, resah, gundah pun aku tak berhak! Aku siapa? Bukan siapa-siapa! Aku tak berhak berbuat sesuatu. Aku tak berhak protes! Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Lagi.

Hanya saja, kali ini, Aku tak ingin terbiasa! Aku tidak ingin membiasakan diri untuk tidak dapat berbuat apa-apa. Aku harus berbuat sesuatu! Setidaknya pada diriku sendiri! Setidaknya aku bisa mengalihkan perhatianku. Setidaknya aku bisa menyendiri. Setidaknya aku bisa fokus pada hal lain. Sesakit apapun, sesulit apapun, sebenci apapun, tak apa. Toh ayah mendidikku untuk jadi tangguh, menjadi anak gadis yang dapat ia banggakan, menjadi anak gadis yang kuat menghadapi rintangan!

Dan aku yakin pada satu hal, bahwa aku tak selemah itu. Masalah tidak dapat berbuat apa-apa ini, meyakinkanku satu hal, Allah ingin aku berbuat sesuatu, maka Ia berulang kali mengujiku dengan hal yang sama dengan memasukkanku pada kondisi yang berbeda. Ia tidak ingin aku terbiasa dengan tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak ingin aku pasrah. Ia ingin aku melawan! Ia ingin aku memperjuangkan. So, now, aku akan berjuang, mungkin itu yang ingin ia ajarkan padaku!

Tidak pasrah pada kondisiku. Tidak membiarkan semuanya pergi begitu saja, lagi.

Lihat, saat SD, ketika aku akhirnya membiasakan diri dengan tidak berbuat apa-apa. Apa yang kudapat? Tak ada! Bahkan orang-orang yang mem-bully-ku semakin gencar melakukannya. Semakin bahagia.

Lihat, saat SMP, ketika aku akhirnya membiasakan diri dengan tidak berbuat apa-apa. Apa yang kudapat? Tak ada! Mereka semakin sering bermuka manis yang membuatku muak. Membuatku tak pernah nyaman.

Lihat, saat SMA, ketika aku akhirnya membiasakan diri dengan tidak berbuat apa-apa. Apa yang kudapat? Tak ada! Apakah pada akhirnya aku dapat mempertahankan sahabatku itu? Tidak! Dia akhirnya pergi dari sisiku. Dia tak mendapatkan yang ia mau dariku. Wanitanya pergi begitu saja. Pun aku ditinggalkannya.

Dan aku tak mau itu terulang, di sini. Di kuliah ini. Aku ingin mendapatkan sesuatu. Aku harus melakukan sesuatu. Tidak! Bukan itu! Bukan dia! Jika memang pria itu jodohku, kami akan bersatu, entah bagaimana caranya. Paling tidak sekarang, aku harus merubah diriku! Aku harus merubah pola pikirku. Aku tak mau lagi terperangkap dala kata Tak bisa apa-apa! AKU BISA! 

Jika memang aku tak bisa mengatasi cemburuku, toh aku bisa mengatakannya padanya. Jika memang aku tak bisa mengatasi kesalku, marahku, muakku, toh aku bisa mengatakannya padanya. Jika memang aku senang, aku sedih, toh aku bisa mengatakannya padanya, tak ada salahnya bukan? Toh dia sudah tahu perasaanku.

Setidaknya kali ini, aku ingin memperjuangkannya. Aku tidak ingin lagi pasif diam menunggu. Lelah. Aku tidak ingin lagi berada di posisi orang yang tidak dapat berbuat apa-apa. Karena aku tahu, aku bisa berbuat apapun jika aku mau!

Brace yourself! Aku tidak akan tinggal diam lagi menunggumu berubah! Kali ini, aku bakal gerak! Terserah kau suka atau tidak! Kali ini, akan kubuat hidupku, berjalan seperti yang kumau! Tunggu saja!

Share:

0 komentar

Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.