Hinata Umi's Work

[CERPEN] Silentsilia - Bad Memory




"Cih." Pria dihadapannya itu meludah ketika akhirnya berhadapan langsung dengannya hari itu.

"Kau adalah perempuan terbodoh yang pernah kukenal."

Kata-kata itu menusuk bagai jarum yang tepat mengenai hatinya.

"Sil, akan kuberitahu padamu suatu hal. kau tahu kenapa aku mau mendekatimu? mau bersahabat denganmu? semua itu demi informasi!"

Air mata mengalir di wajah Sil, air mata kesekian yang ia rasakan belakangan ini. Ia masih menatap lelaki di hadapannya itu, berusaha kuat. Perlahan ia mulai menggerakkan silianya untuk membentuk beberapa kata yang ada di benaknya.

[Informasi apa yang kau butuhkan?]

Pria dihadapannya itu tersenyum, terlihat sekali senyumnya itu adalah senyuman mengejek.

"Kelemahan. Kelemahan ras kalian."

[Kau]

"Kenapa? Kau kaget?"

[Bagaimana bisa?]

"Mudah saja bagiku."

[Siapa yang menyuruhmu?]

"Pemerintah."

[Kau berbohong?]

Pria itu hanya tersenyum. menatap kasian pada wanita bersilia di hadapannya.

"Kau tahu? kau dan kedua orang tuamu harusnya juga mati. sayang, tubuh kalian sudah berubah. gen kalian sudah berbeda."

Sekali lagi airmata jatuh tak dapat tertahankan oleh Sil. Ia hanya memandang wajah pria itu lamat-lamat. Rasa sakit di hatinya semakin besar. Penyesalan di hatinya mencuat kembali. Ia tak menyangka apa yang dilihat dan didengarnya mengenai sahabatnya ini ternyata memang benar. bahwa pria ini memang berencana berbuat buruk padanya.

Seandainya aku sedikit lebih peka.

Lelaki itu tersenyum melihat air mata itu.

"Sementara kau dan kedua orangtuamu mendekap disini terikat tak berdaya, aku akan membunuh mereka. ras yang sangat kau banggakan itu."

Lengan daun pria itu menyentuh wajah Sil yang penuh dengan butiran air mata.

"Setelah itu, kau akan hidup dengan dihantui rasa bersalah. Membuatmu tak bisa berekspresi tak bisa lagi mengungkapkan apa yang kau rasakan sejujur saat ini. hahaha."

Pria itu meninggalkannya di ruangan yang gelap terikat tak berdaya oleh zat yang ia tidak tahu namanya apa, bersama kedua orang tuanya yang tak sadarkan diri. Ia menangis sejadi-jadinya. Menangisi kesalahan yang telah diperbuatnya. Menangisi kepercayaannya yang berlebihan pada sahabatnya itu. Menangisi kejujurannya.

Menangisi betapa ia terlalu mudah dimanipulasi oleh orang itu. Hatinya sakit. Terluka. Ia tak mampu lagi menatap wajah kedua orangtuanya.

Sil, kecil yang malang.

Menangis tak menyelesaikan masalah. Itulah yang membuatnya kembali kuat. Berpikir bahwa pasti ada penjelasan mengapa semua ini bisa terjadi. Sorot matanya berubah. Pandangan nanar tanpa ekspresi itu pun muncul tiba-tiba menatap ke arah pintu yang tak terbuka.

Aku akan mencari kebenaran. Kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran atas apa yang sebenarnya terjadi. Kebenaran mengapa rasku dibunuh. Kebenaran mengapa kau membiarkanku hidup.

Membatin, ia menatap ke arah pintu itu, pintu yang tertutup sejak lelaki berumur 8 tahun itu meninggalkannya. Silia-silianya berterbangan secara acak membuatnya terlihat sangat menyeramkan. Baginya saat ini, tak ada yang lebih penting daripada menyelamatkan kedua orang tuanya.

Tunggulah, kau akan membayar semua hal yang telah kau lakukan padaku. Semuanya. Bahkan, sampai ke bagian-bagian terkecil yang tidak kau duga.

Share:

0 komentar

Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.