-Sufi ulama, sumber tidak jelas asalnya, banyak nama-
* * *
Hari ini Umi ingin sedikit menuangkan keluh kesah serta resah yang muncul melihat fenomena pembaca dan penulis yang muncul di berbagai ranah dan media, baik itu di platform daring maupun luring. Keresahan Umi itu, terkait dengan kutipan di atas.
Tapi, sebelum Umi mencampuradukkan antara cerita dan opini, Umi ingin bercerita terlebih dahulu.
Suatu hari di sebuah media baca daring terkenal, seseorang sedang menikmati bacaannya dengan bahagia. Ia mengikuti alur cerita yang disuguhkan penulis dengan riang gembira. Ia terus membaca, hingga akhirnya cerita pun tamat dengan akhiran yang memuaskan. Ia pun menuliskan komentar pada karya tersebut yang isinya memuja dan memuji karya tersebut. Ia sangat berterima kasih pada penulis karena menyuguhkan cerita yang membuatnya sangat puas.
Di tempat lain, ada pembaca berbeda, ia mengikuti karya yang sama. Namun, alih-alih menikmati karya yang disuguhkan, ia terganggu sangat dengan kekeliruan demi kekeliruan yang dituliskan oleh penulis. Baru baca satu bagian, ia mengeluh. Baca bagian selanjutnya, ia melenguh. Baca bagian selanjutnya lagi, ia mendengkus. Eh, belum sampai tamat cerita tadi, dengan berapi-api ia mengetikkan satu demi satu kekeliruan yang dibuat oleh si penulis.
Sampai di sini, mari kita pindah kamera.
Di hari yang indah, penulis muda sedang duduk santai di rumahnya. Di hadapannya, laptop dan tetikus sudah menyala dan siap digunakan. Di sebelah kanannya, segelas kopi siap menemani. Ia pun membuka media baca daring tempatnya menuangkan ide dan kreatifitas. Ketika media daring itu berhasil dimuat mesin peramban, ia terkesima dengan beberapa pemberitahuan mengenai komentar di salah satu karya miliknya. Satu persatu ia baca komentar-komentar itu.
Komentar pertama berisi pujian dan ucapan terima kasih dari pembacanya. Komentar itu membuat hatinya berbunga-bunga. Dibalasnya komentar itu dengan penuh senyum. Namun, begitu melihat komentar kedua, hatinya panas bukan main. Daftar dosanya dipampang begitu saja tanpa ijin oleh pembacanya yang menurutnya sok. Ia pun berang dan membalas komentar tersebut dengan penuh kebencian.
Sampai di sini, bisa ditebak kelanjutannya apa?
Si pembaca yang melihat komentar tersebut pun marah. Lalu, mereka balas membalas komentar negatif, yang kadang, tidak hanya berhenti di media itu saja. Tangkapan layar sebagai bukti pun disebar hingga ke berpuluh-puluh media daring. Perang kiriman di Facebook pun terjadi. Saling menghina di Instagram pun muncul. Berlomba-lombalah mereka mencari pendukung. Bertengkarlah mereka, pendukung-pendukungnya pun ikut bertengkar. Keduanya mengarang narasi telah dizalimi oleh yang lain.
Lalu, di manakah letak kesalahannya?
Hm, di mana, ya? Umi pun tidak tahu. Inilah yang sedang Umi ingin ketahui. Di mana sebenarnya letak salahnya? Apakah salah si penulis membalas komentar 'daftar dosa' itu dengan penuh kebencian? Apakah salah si pembaca yang menuliskan 'daftar dosa'? Atau malah salah medianya yang mengizinkan pembaca dan penulis saling berinteraksi?
Yang Umi ketahui adalah dahulukan adab daripada ilmu.
Kutipan ini tidak hanya berlaku untuk penulis, tapi juga pembaca. Kutipan ini juga berlaku untuk penulis senior dan penulis junior, pembaca senior dan pembaca junior, editor senior dan editor junior. Kutipan ini berlaku pula untuk si pintar dan si pemarah. Ketika marah, ketika kesal, ketika melihat kesalahan, ketika melihat sesuatu yang tidak pas, ada baiknya kita mendahulukan adab sebelum ilmu.
Lantas, apakah salah saling mengingatkan? Tentu tidak.
Tapi, sekali lagi, ada adab sebelum ilmu.
Seringkali kiasan ini, digunakan oleh banyak orang untuk membenarkan adab yang mereka lompati begitu saja. Padahal, tak ada salahnya, diam. Padahal, tak ada salahnya mundur sedikit. Padahal, tak ada salahnya melihat apakah perlu bertindak? Apakah sudah meminta ijin? Apakah kata-katanya benar? Apakah ini bisa menjadi evaluasi buatku?
Yah, itulah keresahan Umi. Umi menuliskan ini demi pengingat diri Umi sendiri nanti di masa depan. Harapannya, tulisan ini bisa membuat Umi kembali berpikir jernih memandang sesuatu dan ketika akan mengambil tindakan tertentu.
Yuk, sekali lagi, dahulukan adab dari ilmu.
* * *