[Random Thoughts of Mine] Gedung Tinggi Untuk Apa?
-Anonymous-
* * *
Hola, teman-teman. Kali ini Umi ingin membagikan sesuatu fenomena yang menarik. Lagi, tulisan ini berasal dari salah satu komentar di Facebook pada kiriman salah satu teman Umi. Isi kiriman tersebut, seperti biasa, tautan menuju artikel dengan judul yang clickbait.
Kiriman dengan tajuk 'Patut Bangga Kita Punya Perpustakaan Tertinggi Di Dunia', memancing salah satu teman Umi yang lain untuk memberi komentar seperti kutipan yang mengawali tulisan ini. Berangkat dari situ, Umi penasaran, apakah memang seburuk itu minat baca di Indonesia? Dan, apakah membangun gedung tinggi itu tidak memberikan dampak positif?
Untuk menjawab pertanyaan itu, ada beberapa hal yang perlu Umi pastikan. Yuk, ikuti proses Umi menyelam pemikiran Umi.
Pertama, berapa persentase minat baca di Indonesia per-tahunnya?
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CCSU (Central Connecticut State University) di tahun 2016 mengenai The Most Literate Nations in The World, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara yang diteliti dengan persentase membaca sebesar 0,01%.
Okay, tentu kalian bingung dengan persentase angka ini.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) rata-rata per tahun terdapat kurang lebih 30.000 judul buku baru yang diterbitkan, belum termasuk dengan buku-buku yang tidak didaftarkan ke Perpusnas dan self-publisher. Total terjual buku rata-rata adalah 65 milyar untuk semua judul.
Artinya apa?
Dari sepuluh ribu buku yang sudah terbit, hanya satu buku yang dibaca oleh warga Indonesia. Dengan total buku tercetak per tahun adalah 65 milyar, maka hanya 6,5 juta buku yang dibaca. Ini belum spesifik ke kategori buku yang dijadikan acuan penelitian CCSU, loh.
Padahal menurut Katadata di ASEAN Indonesia menduduki posisi pertama penerbit buku paling produktif. Gimana bisa kita kalah sama Singapore yang perinngkat 4 di jumlah buku terbit per tahun? Singapore menduduki posisi 36, loh, penelitian CCSU.
Okay, tentu kalian bingung dengan persentase angka ini.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) rata-rata per tahun terdapat kurang lebih 30.000 judul buku baru yang diterbitkan, belum termasuk dengan buku-buku yang tidak didaftarkan ke Perpusnas dan self-publisher. Total terjual buku rata-rata adalah 65 milyar untuk semua judul.
Artinya apa?
Dari sepuluh ribu buku yang sudah terbit, hanya satu buku yang dibaca oleh warga Indonesia. Dengan total buku tercetak per tahun adalah 65 milyar, maka hanya 6,5 juta buku yang dibaca. Ini belum spesifik ke kategori buku yang dijadikan acuan penelitian CCSU, loh.
Padahal menurut Katadata di ASEAN Indonesia menduduki posisi pertama penerbit buku paling produktif. Gimana bisa kita kalah sama Singapore yang perinngkat 4 di jumlah buku terbit per tahun? Singapore menduduki posisi 36, loh, penelitian CCSU.
Kedua, jumlah perpustakaan dan koleksi bukunya apakah sepadan?
Mari kita tengok data yang dihimpun oleh Katadata. Katanya, Indonesia memiliki lebih dari 153.600 perpustakaan yang tersebar baik di sekolah maupun umum. Jumlah ini digadang-gadang sebagai terbanyak nomor dua di dunia.
Sayangnya, jumlah ini tidak didukung dengan up-to-date-nya koleksi buku yang ada di perpustakaan tersebut. Beberapa perpustakaan besar, memiliki buku terupdate hingga ke terbitan tahun 2019. Namun, di daerah yang lebih dalam dan di sekolah-sekolah (yang mendominasi angka perpustakaan Indonesia) koleksi bukunya tidak aktual. Bahkan ada yang koleksi bukunya tidak bertambah sejak tiga tahun yang lalu.
Mari kita tengok data yang dihimpun oleh Katadata. Katanya, Indonesia memiliki lebih dari 153.600 perpustakaan yang tersebar baik di sekolah maupun umum. Jumlah ini digadang-gadang sebagai terbanyak nomor dua di dunia.
Sayangnya, jumlah ini tidak didukung dengan up-to-date-nya koleksi buku yang ada di perpustakaan tersebut. Beberapa perpustakaan besar, memiliki buku terupdate hingga ke terbitan tahun 2019. Namun, di daerah yang lebih dalam dan di sekolah-sekolah (yang mendominasi angka perpustakaan Indonesia) koleksi bukunya tidak aktual. Bahkan ada yang koleksi bukunya tidak bertambah sejak tiga tahun yang lalu.
Ketiga, bagaimana data statistik kunjungan pepustakaan nasional Indonesia?
Karena Umi tidak menemukan statistik kunjungan perpustakaan Indonesia secara nasional yang dapat dijadikan rujukan dan dapat diakses secara terbuka, Umi akan mengambil data dari beberapa provinsi saja yang membuka data kunjungan perpustakaannya.
Berdasarkan data Bappeda Jogja per tahun 2019 terdapat tiga juta kunjungan dalam setahun. Di Jakarta menurut Jakarta OpenData terdapat 230.674 kunjungan di Desember 2018. Di Sumatera Utara, kunjungan ke Perpusda mencapai 129.000 di tahun 2018.
Perpusnas sendiri tidak membuka data kunjungannya ke publik secara online. Karena itu Umi tidak bisa mencantumkan data tersebut.
Namun, pernah suatu kali Umi ngobrol ke teman-teman sesama penggiat literasi, ternyata gedung perpustakaan nasional adalah satu dari sekian banyak gedung yang statusnya wajib dikunjungi jika ke Jakarta.
Dari sini, Opini Umi dimulai.
Ini murni pendapat Umi. Saat ini, kunjungan perpustakaan dari kawula muda, kebanyakan tidak lebih dari sekedar demi menyelesaikan tugas. Ini bisa dilihat dari jumlah kunjungan yang menurun pada masa liburan sekolah.
Pergi ke perpustakaan tidak sekeren pergi ke mal-mal atau kafe. Ini diperparah dengan koleksi perpustakaan yang seringnya tidak anyar. Sudahlah tak keren, tak update pula, masih ada yang lebih parah? Masih! Banyak perpustakaan yang tidak terawat kondisi bukunya. Bahkan tidak terawat pula perpustakaannya. Ini sering Umi jumpai di sekolah-sekolah di daerah terpencil.
Gimana mau tertarik?
Kalau begitu keadaannya, bagaimana orang tertarik untuk bisa giat membaca?
Makanya, dari kacamata Umi, gedung tinggi ini sesungguhnya pencapaian dan bisa dijadikan batu loncatan untuk perpustakaan lainnya. Dengan adanya gedung keren ini harapannya semakin banyak pengunjung perpustakaan. Kunjungan ini juga diharapkan dapat menjaring pembaca-pembaca dari kalangan milenial, gen-z, dan generasi alfa.
Ingat saja, kenyamanan merupakan hal terpenting dari menciptakan gaya hidup. Jika kita ingin menciptakan gaya hidup generasi yang gemar membaca, maka hal utama yang perlu kita lakukan adalah mengajak generasi ini terbiasa dengan kegiatan membaca. Dengan strategi ini, ke depannya membaca akan menjadi gaya hidup dan kegiatan yang tidak kalah keren dari minum kopi di kafe.
Jadi, jawaban dari Untuk apa gedung tinggi-tinggi kalau minat baca masih rendah adalah unntuk meningkatkan minat baca dengan menaikkan prestige dari tempat membaca itu sendiri.
See you in the next article~
Tags:
artikel
0 komentar
Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.