Hinata Umi's Work

Flash Fiction: Kenangan

Aku berlari mengejar mereka ke bukit senja.

“Hei, aku yang duluan! kenapa kalian mengambil posisiku! Itu tempatku,” teriakku terengah-engah. Kalian tertawa renyah. Tetap menduduki tempat favoritku. Seperti biasa.


“Hore … Aku duluan! Horeee! Kalian kalah!” Lila berteriak kencang membalasku yang masih jauh dari tempat terbaik menatap senja keemasan.

“Kamu, sih! Kelamaan!” balas Rendi yang juga terengah-engah. Menaiki bukit ini memang bukan perkara mudah untuk si gendut Rendi.

“Ayo dong, bantu aku! Ga kuat nih!” Teriakku disela nafas yang tersendat.

Kalian tetap tertawa. Tak menghiraukan jerit setengah-letih-setengah-tertawaku. Masih berebut siapa yang menaiki batuan besar favorit kita. Kaila memanjat pohon di samping batu. Malas untuk ikut rebutan dengan kalian. Sementara aku masih berusaha mengejar kalian.

Dua meter lagi dan aku akan tiba.

“Hahaha …. Kamu sih kurang cepat. Kalau saja kamu sedikit lebih cepat…,” ucap Rendi dengan nada rendah yang tak kusukai.

Lalu kalian semua terdiam, menatapku. 

“Tidak…,” ucapku frustrasi. ”Tolong, jangan lagi!”

"Iya, kalau saja kamu lebih cepat…,” ucap Lila dengan nada tak kalah sedih.

“Tidak! Hentikan!” kataku setengah berteriak.

"Kalau saja kamu berjalan lebih cepat, kami tak harus menunggumu, Evan!”

"TIDAAAK!” Aku terbangun di atas tempat tidurku. Menangis.

Kebakaran itu, ia merenggut semuanya dariku. Hilang. Semuanya hilang jadi abu.

“Oh… maafkan aku… Sungguh, maafkan aku…”

* * *

Share:

0 komentar

Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.