Hari ini aku membuka kembali beberapa album lamaku.
Mengingat kembali berbagai cerita lama dari citra-citra yang terekam dari
kamera telepon selular. Berkas-berkas induk menampilkan tahun, bulan, tanggal
dan dalam rangka apa citra-citra itu terekam.
Salah satu berkas induk menarik perhatianku. Judulnya yang
begitu ‘bocah’ membuatku mengikik kecil. Gaun
Pengantin Impian. Kubuka berkas induk itu, aku sudah menebak akan menemukan
apa di dalamnya. Persis seperti tebakanku, itu adalah kumpulan dari citra yang
direkam dua bulan sebelum pernikahanku. Membuatku ingat kembali ke hari itu.
Hari di mana aku mencoba untuk pertama kalinya gaun
impianku.
* *
*
“Sari, bangunlah kau, udah jam lapan ini!” teriakan mamak
mengganggu tidur nyenyakku. Rasanya ingin kulempar saja bantal di kepala ini ke
mamak.
“Iya, Mak! Alaaah…,” balasku urung melemparkan bantal demi
mengingat mamak bukan orang yang benar untuk diajak bergelut.
“Udah dibangunin dari tadi, gak bangun-bangun juga! Kau yang
mau nikah, mamak yang sibuk! Cepat mandi kau! Jam sembilan jalan kita! Ayahmu
aja udah siap, kok kau pulak yang lama kali,” celotehan mamak terdengar jelas
di telingaku. Pintu kamar ternyata sengaja dibuka lebar. Sepertinya mamak
ingin memastikan omelannya terdengar dengan jelas.
Aku yang baru bangun tidur hanya bisa menggaruk kepala. Di
luar kudengar mamak memarahi Fahmi yang menolak ikut ke tempat Wedding
Organizer yang dipercayai ayah. Sementara Ulfah, dia gagal jadi korban omelan
pagi mamak karena dia sudah siap sejak dua jam lalu. Ayah? Jangan tanya, dia
bahkan sengaja tidak tidur sehabis shubuh tadi demi tak mendengar mamak
bernyanyi sumbang di pagi hari.
Beginilah mamak kalau sudah kesal, semuanya habis dihantam.
Tak peduli benar atau tidak adanya ditemukan salah. Tapi, bukan itu yang
ingin kuceritakan hari ini.
“Iyah, masih di tempat tidur aja kau, ya? Mandi! Gak malu
kau udah mau punya suami bangun masih jam segini?”
Aku pun segera mengambil handuk dan pakaian yang akan aku
kenakan. Sesegera mungkin masuk ke kamar mandi. Sengaja memilih kamar mandi
yang dekat dengan posisi mamak sekarang. Biar beliau lihat anaknya masuk kamar
mandi. Ini adalah trikku kalau mamak sedang marah. Melakukan apa yang dia suruh
tepat di depannya agar kekesalannya mereda.
“Ha, kau pakek lagi baju itu. Ga adak lagi rupanya baju kau
yang lebih bagus, hah?”
Sepertinya aku salah strategi.
Segera aku berlari ke kamar
dan mencari bajuku yang paling bagus. Aku lupa hari ini kami akan bertemu
dengan salah satu teman ayah yang memiliki usaha Wedding Organizer. Bertemu
dengan teman ayah berarti harus mengenakan pakaian formal rapi. Sementara tadi
aku memilih kaus oblong dan celana denim. Pilihan paling buruk untuk menemani
ayah berpergian ke rumah temannya.
Singkat cerita, kehebohan pagi itu berakhir dengan damai.
Aku, mamak dan ayah akhirnya berangkat dengan mobil Toyota
Yariz merah milik mamak. Tak perlu kuceritakan lagi kehebohan kami mencari
rumah teman ayah yang ternyata ada di pelosok. Belum lagi, Google Maps yang mati dan lain sebagainya yang sungguh menguji
kesabaranku dan ayah.
Sesampainya kami di rumah pemilik WO, kami disambut oleh
seorang ibu paruh baya yang kuperkirakan berumur 41 tahun, seumuran dengan
mamak.
“Eh, Pak Misran, ayok masuk-masuk,” ujar si Uwak ini sambil menyalami kami satu-persatu.
“Alah, kakak inilah, kayak orang lain aja kita jadinya,”
jawab ayahku basa-basi. Aku sudah terbiasa dengan basa-basi semacam ini.
Basa-basi para pejabat. Ayah dulu sering melatihku untuk hal-hal semacam ini.
“Ah, kau pun! Mana ada orang lain kita. Duduk dulu, sini!
Yang mana yang mau nikah?” kata si Uwak
menatapku dan mamak bergantian.
“Uwak inilah, becanda aja pun! Awaklah yang mau nikah, masa
mamak?” balasku becanda sambil menyalami si Uwak
sambil cipika-cipiki ala
sosialita kelas atas.
“Omak, cantik kali ini, kayak mamaknya,” kata si Uwak sambil menyalami mamak.
“Ah, bisa aja Kakak ini,” balas mamak sambil tertawa dan cipika-cipiki.
“Ah bisalah, kalok gak bisa, kita bisa-bisakan! Ayoklah,
masuk-masuk. Rumahnya kecil, jangan ditengok-tengok kali ya,” si Uwak berjalan ke dalam rumah.
Kami mengikuti Uwak di
belakang. Tak berapa lama, sampailah kami di sebuah ruangan besar ala sanggar
yang di tengahnya tersedia sofa besar. Tak diminta kami duduk di sana.
Sepertinya kedatangan kami memang sudah ditunggu oleh Uwak dan timnya, terbukti dengan tak berapa lama setelah kami
duduk, salah satu tim Uwak membawakan
tiga botol air mineral dan beberapa cemilan.
“Jadi, cemana Pak Loho? Udah cocok dengan skema baju yang
kemarin kita bahas?” tanya Uwak akhirnya
membuka obrolan setelah obrolan ngalor-ngidul
kepanjangan.
“Itulah yang awak pikirkan Kak, awak cocok, tapi gak tahu
ini anaknya maunya cemana,” balas ayahku membuatku bingung.
Terakhir kali obrolanku dengan ayah dan mamak, kami
memutuskan untuk menjahit sendiri baju yang akan aku kenakan, baik saat akad
maupun saat resepsi. Maka dari itu, mendengar obrolan ini membuatku bingung
seketika.
“Cemana Nak’e?” tanya ayahku lagi memaksaku menjawab, sedang
aku sendiri belum mengerti benar dengan arah obrolan ini.
“Cemana apanya, Yah?” balasku, menatap ke arah mamak, ayah
dan Uwak berulang kali sambil
mengunyah pisang goreng yang disuguhkan.
“Iya, jadi gini Ri, kemarin itu, kami udah ngobrol sama Uwak, kayaknya yang dijahit itu cumak
baju untuk akad aja, yang resepsi kita sewa aja.” Mamak yang menjawab
pertanyaanku.
“Banyak kali nanti, Nak bajunya. Kan mau ada baju adat
Batak, Melayu, Jawa terus belum lagi baju pas akadnya ada dua. Kan banyak kali
yang mau dijahit jadinya,” sambung ayah ikut melengkapi penjelasan mamak.
“Lagipula, mau kemana pakek baju adat, kan Nak?” lajut mamak
lagi, mencoba meyakinkanku agar aku tak kecewa.
Oh, itu rupanya. Aku bingung kenapa mereka berusaha
meyakinkanku? Padahal dari awal juga aku sudah memberikan ide itu ke mereka.
Kan, mereka yang keras kepala sekali ingin menjahit baju. Ahaha.
“Kan, Sari juga dari awal maunya begitu, ayah sama mamak
ajanya yang keras kali gak mau. Bilangnya sekali seumur hidup, kan?” Setengah tertawa
aku melanjutkan mengunyah pisang goreng. Ini pisang goreng enak sekali.
“Eh, tapi Pak, paket yang kemarin itu cuma tiga set lo,
Pak?” si Uwak tiba-tiba menyambung
pembicaraan kami.
“Ya gak papa, kak! Yang penting satu dari aku, set pakaian
Batak Toba,” balas ayah menggantung sambil menatap mamak.
“Satu dari awak, set pakaian Melayu,” sambung mamak sambil
menatapku.
Uwak juga
menatapku. Mereka bertiga menatapku. Membuatku
gugup tiba-tiba. Rasanya ingin berkata “Apa?” lalu menatap mereka kembali satu-persatu.
“Sari pilih sendiri ajalah! Pilihannya mana, Wak?” begitulah
balasku atas tatap mata mereka. Untung ada wangsit
yang muncul di saat-saat terakhir.
“Yoklah, ikut Uwak, sekalian kau fitting, baju-baju yang mau
kau pakek nanti,” kata Uwak sambil
bangkit dari duduknya.
Aku mengikuti Uwak
masuk ke salah satu ruangan. Di sana ada lemari besar. Uwak membuka lemari itu, terpampang deretan pakaian resepsi
berbagai warna dan ukuran. Uwak
memilih dua kebaya Batak Toba, warna merah dan hitam. Mengambil dua pakaian
adat Melayu, berwarna emas dan biru.
“Cok, kau pilih, mau warna yang mana?”
Aku menatap keempatnya, pilihanku jatuh pada warna merah
cerah untuk pakaian adat Batak Toba dan biru muda pada pakaian Adat Melayu.
Merah karena orang selalu berkata aku sangat cocok dengan warna merah. Biru
karena warna emas sudah terlalu mainstream.
Uwak memintaku
mencoba pakaian itu satu-persatu. Ada cermin besar di ruangan itu. Tepat sesuai
dugaanku, kebaya Merah benar-benar bagus di tubuhku. Warnanya kontras dengan
kulit putihku. Terlihat manis dan elegan di saat yang bersamaan. Untuk sedetik
aku merasa orang yang berbeda.
Begitu juga setelah pakaian adat Melayu-nya. Terlihat sangat
pas dengan ukuran tubuhku. Birunya menyatu dengan bentuk tubuhku. Warnanya
mewah dan tidak kuno. Aku terlihat seperti Putri Melayu Deli yang pernah
kulihat di salah satu pajangan di Istana Maimoon.
Dasar narsis!
Ahahaha….
“Nah, kau mau pilih baju apa yang satu lagi?” tanya Uwak padaku.
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh lemari pakaian Uwak yang besar itu. Mataku tertuju ke
arah kumpulan gaun berbagai warna. Ada kira-kira sepuluh gaun dengan berbagai
model dan warna di sana.
Kalau kalian mengenalku, maka kalian akan tahu dengan jelas
gaun warna apa yang akan kupilih!
Ya, benar sekali! Gaun putih!
“Eh, mau yang ini kau?” kata Uwak mengikuti arah pandanganku.
Aku mengangguk mengiyakan lalu membalas,”Iya, wak! Yang ini
kayaknya cantik!”
Uwak menatapku
ragu, tapi diambilnya juga. Gaun itu bermodel kemben di bagian atasnya dan
mengembang lebar di bawahnya. Terlihat anggun, sederhana namun tetap elegan. Ia
panjang selaras dengan tinggiku.
Cantik. Khas gaun ala cerita dongeng di film Barbie yang aku
tonton semasa aku kecil dulu.
“Ya udah, kau cobalah dulu ini!” titah Uwak padaku.
Aku menurut saja. Kukenakan gaun itu. Sepintas tidak ada
yang aneh dengan gaun itu. Bagian atasnya terbuka, jadi aku mengenakan manset untuk menutupi bahuku. Lalu dari
bawah, gaun itu mulai dinaikkan sampai kembennya menutupi dadaku. Dibantu Uwak mengikat tali penyambung kemben di
belakang. Dan…,
…
…
…
…
…
…
…
Gaun itu kebesaran!
Astaghfirullah!
Kembennya melorot! Pinggangku yang besar tak dapat menahan
laju jatuhnya. Padahal aku memiliku pinggang ramping dan bokong yang besar.
Tetap saja gaun itu kebesaran. Berkali aku dan Uwak menaikkan gaun itu dan mengikat tali penahannya lebih kencang.
Tetap gagal.
Si Uwak tak
berhenti tertawa melihatku yang masam,“Udahlah nak, pilih yang lain aja, ya!”
“Tapi wak, Sari suka yang ini! Warnanya bagus!” balasku
masih keukeuh mau pakai gaun yang
ini.
“Eh mak, gawat kita, paksa Uwak minta tukang jahit buat
ngecilkan kayaknya,” balas Uwak sambil
terus tertawa.
Mau tak mau aku pun tertawa juga jadinya. Menyerah. Menatap
ke arah lemari besar itu lagi, mencari pilihan lain yang menggoda. Lalu tertawa
miris menatap kembali gaun yang melorot di bawah sana. Lalu, menghela napas.
Masa harus menyusahkan Uwak untuk
mengecilkan gaun ini.
Mungkin si Uwak melihat
helaan napasku, lalu ia berkata,”Ya udahlah, ga tega pulak aku ngeliatnya.
Nanti, Uwak kecilkan.”
Berbinar-binar aku membalas,“Betol ni ya wak?!”
“Iya, pokoknya kali kedua kau kesini nanti, Uwak pastikan
gak melorot lagi,” kata Uwak membuatku
tertawa.
Hari itu, akhirnya kami pulang sambil memegang janji Uwak. Sambil harap-harap cemas, semoga
aku menggemuk selama dua bulan ke depan. Ahahahah.
* * *