Hinata Umi's Work

Jangan Abaikan Pertanda

"Kematian adalah sesuatu yang mutlak akan hadir. Baik itu jaraknya jauh, maupun sudah dekat."

- anonymous -

***
Sudah seminggu lebih aku sakit. Batuk-batuk. Pilek. Pusing. Sulit tidur saat malam hari tiba. Kedinginan atas udara yang, alhamdulillah jika aku boleh berysyukur, sejuk kala malam menjelang.

Sebenarnya, jika diingat kembali, salahku sendiri sakit begini. Seminggu yang lalu, atau 11 hari yang lalu lebih tepatnya. Hujan mengguyur Depok, kota yang kini kutinggali dan menjadi domisili sementaraku.


Atas dasar janji yang sudah terucap, aku dan Amaya memaksakan diri untuk menghadiri buka bersama di Margo City di tengah hujan deras yang turun saat itu. Ibu kosan sebenarnya sudah memperingatkan untuk tidak usah pergi sebelum aku berangkat. Namun, dasar aku anak yang cukup bandel, nekat saja, kami berangkat berbekal payung. Akhirnya, kami tiba di Margo basah kuyup. Seperti yang sudah diduga.

Tidak tahu suhu saat itu berapa, namun yang jelas, aku membuka kaos kakiku yang basah untuk mengurangi dingin yang sudah mulai mendera. Sesuatu yang normalnya tidak kulakukan jika tidak karena terpaksa. Pulang dari buka bersama itulah, momen awal turunnya imun tubuhku. 

Malam hari, ketika akan sholat tarawih, aku menggigil kedinginan. Kukira hanya menggingil biasa. Namun ternyata, itu adalah pertanda pertama tubuhku minta istirahat lebih. Hingga keesokan harinya, Senin, aku demam. Memutuskan untuk tidak bekerja hari itu.

Malam kedua, kurasakan tubuhku sudah mendingan. Aku tidak lagi kedinginan. Makanku juga sudah mulai membaik. Suhu tubuhku berangsur normal. Hanya tenggorokanku saja yang terasa panas menggelegak. Kukira itu hanya dehidrasi biasa. Sayang, itu adalah pertanda kedua, imunku kembali turun. Pertanda yang kuabaikan.

Keesokan harinya, merasa sehat, aku kembali bekerja seperti biasa. Beberapa kali aku terbatuk-batuk. Namun kukira, itu adalah batuk biasa. Malamnya kembali dingin menyerang. Suhu tubuhku naik dan nafsu makanku mulai berkurang. Satu lagi pertanda yang kuabaikan.

Hari rabu, mengabaikan pertanda yang sama, aku kembali berangkat bekerja. Di kantor, aku lesu. Menatap layar dengan tatapan lelah. Terbatuk-batuk terus menerus. Kepala pusing. Hingga puncaknya, menjelang Ashar, aku terbatuk cukup keras, dan ada bercak darah kecil-kecil di sana. 

Radang tenggorokan.

Malam harinya, aku memutuskan untuk RS. Namun, diskusi dengan beberapa orang, aku memutuskan untuk tidak langsung ke RS. Aku berakhir ke klinik kecil di dekat kosan. 

Dari pak Dokter, aku menemukan bahwa, aku, memang radang tenggorokan.

Empat hari mengkonsumsi obat dari dokter tersebut, bukannya membaik, radangnya malah semakin parah. Batukku semakin menjadi-jadi, tidurku tak nyenyak nyaris tidak bisa tidur sama sekali, pilekpun meler terus tak bekesudahan. Pun begitu, aku tak berhenti sejenak mengambil waktu untuk istirahat dan tetap bekerja seperti biasa.

Hingga, minggu siang, kala aku sudah berjanji bertemu dengan Mas untuk jalan dan nonton, puncak kedua tiba. Aku terbatuk lagi dengan darah cukup banyak. Kali ini, aku tidak lagi ragu itu darah. Tubuhku langsung keringat dingin. Aku memutuskan untuk ke rumah sakit segera. Ditemani Amaya, setengah panik dan mulai paranoid, aku memeriksakan diri.

Yah, syukurlah tak ada masalah ternyata dengan tubuhku. Setelah cek darah dan ronsen, dokter menyatakan aku hanya radang tenggorokan biasa. 

Tapi, dari sakit ini, aku belajar beberapa hal, salah satunya adalah jangan mengabaikan tanda-tanda yang diberikan oleh tubuh. Kemarin, penyakitku semakin parah karena aku mengabaikan semua tanda. Mulai dari menggigil, batuk, lemas, lesu, demam. Aku menganggap hal itu biasa saja dan tetap beraktifitas seperti biasa. Padahal tubuhku sudah menjerit minta diberi istirahat.

Dari sakit ini juga, aku belajar bahwa, kematian itu datangnya bisa saja sudah di depan mata, juga bisa masih jauh dari angan. Selama sakit, tak sekali dua kali aku terpikir waktuku sudah tiba (terutama pada saat aku batuk berdarah). Tak sekali dua kali juga aku khawatir aku akan dipanggil tanpa sempat membuat ayah dan mama tersenyum bahagia menimang cucu mereka.

Takut. Itu yang kupikirkan.  Ketidaksiapanku adalah penyebab utama ketakutanku. Bagaiman pertanggungjawabanku kelak?

Yah begitulah, sakit memang selalu membawaku belajar banyak hal :)

Share:

0 komentar

Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.