Sudahlah Kawan Budaya Mengkritik Sudah Mati, Mari Menjilat Saja
Sudahlah kawan, budaya kritik di dunia ini sudah mati. Kritik-kritikmu sudah tidak berguna. Lupakan zaman keemasan saling lempar kritik di masa-masa Sutan Pane atau Buya Hamka. Kritik bukan lagi sebuah media cerdas yang menunjukkan kelemahan dan kecerdasan sebuah karya, tapi media umpatan tempat seseorang berkeluh kesah tentang hidupnya yang tak bahagia.
Liriklah postingan di sebuah media sosial, isinya seperti ini:
Gimana, sih, nulis kok isinya begini. Ini merusak mental, mentol, cilok, colik anak muda. Bagaimana mungkin karya seperti ini lolos kurasi? Bagaimana mental anak muda bisa seperti tong sampah? Apakah seperti ini moral anak muda zaman sekarang? Kamu tidak berpikir bagaimana pertanggungjawabanmu sebagai penulis nanti? Jadi penulis jangan goblok, jangan bodoh. Hanya pembaca bodoh yang mau dibodohi oleh penulis bodoh!
Atau kiriman lain seperti:
Gak usah dibaca, karya sampah. Karya sampah seperti ini hanya akan menjauhkan anak-anak kita dari berpikir cerdas. Mana ada manusia yang sesempurna ini.
Padahal, kata mereka, sastra adalah kebebasan. Sastra (yang termasuk di dalamnya adalah novel, cerpen, cerita tertulis, puisi) adalah sebuah seni bercerita dan berkias. Apakah di dunia ini ada manusia seperti Dilan yang dengan gombalan sampahnya bisa membuat gadis-gadis jatuh cinta seperti Milea padanya?
Tidak, Kawan.
Di dunia nyata, di tahun 2021, gombalan seperti itu hanya akan dianggap catcalling, gombalan sampah ala preman pasar yang katanya membuat jijik para wanita. Hanya dalam buku Dilan 1990 dan Dilan 1991 sajalah, karakter Dilan hidup dan membuat bahagia para wanita yang membacanya. Baper, katanya. Kalau ada di dunia nyata, Dilan (meski memenuhi karakter manusia yang ada di zaman itu) mungkin sudah ditendang, dilempar ke lautan, atau yang paling parah masuk bui atas tuduhan sexual harassment.
Seperti itulah Teman, kuatnya karakter fiksi itu. Dia, pada dasarnya, tidak benar-benar mewakili dunia nyata. Kalaupun ada, tolong diingat-ingat, ada sifat hiperbola yang tidak bisa kita lepaskan dari sebuah karya.
Mari kita ambil contoh karya lain yang juga sudah diakui dunia. The Alchemist, Paulo Coelho. Adakah sosok Santiago di dunia ini? Yang berkeliling dunia hanya berbekal sebuah mimpi? Mungkin ada, mungkin tidak. Satu hal yang pasti, manusia seperti Santiago mungkin tidak sehiperbolis sang alkemis di buku karangan Paulo.
Kita pindah ke karya lain, karya penulis Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, Cantik Itu Luka karangan Eka Kurniawan. Masuk akalkah kisah kelima wanita di dalam buku itu? Bahkan keberadaan tulah Nyai yang muncul atas kebenciannya pada Kakek Dewi Ayu pun sudah sulit dipercayai, konon pula kita harus memercayai kebangkitan dari kubur Dewi Ayu, atau keburukrupaan Cantik. Mustahil.
Sudahlah, Kawan. Budaya mengkritik cerdas yang dulu dipopulerkan para sastrawan-sastrawan kita, sudah mati. Ngapain kita bersibuk-sibuk mengkritik kisah-kisah penulis mental baja? Penulis-penulis itu terlalu baja jiwanya untuk kita kritik. Mereka sudah kuat, sudah terlatih untuk mengabaikan kata-kata kita.
Ngapain kita bersibuk-sibuk ribut mengata-ngatai penulis-penulis cerita porno, saat mereka, peduli pun tidak dengan keributan kita. Kita ribut, ribut, ribut, ribut, ribut, tanpa pernah peduli mereka yang kita ributkan, acuh tidak acuh dengan apa yang kita ributkan.
Ngapain kita berlelah-lelah, menyadarkan orang yang tidak mau sadar? Lagi pula, bukankah memang begitu sudah kenyataannya? Dan hei, ketempean mental mereka itulah, baja yang sudah tidak bisa ditempa.
Dunia ini sudah berubah. Mental tempe sekarang jauh lebih tahu daripada tempe. Remaja-remaja, penulis-penulis 'pemula', mereka sudah tidak peduli. Yang penting dapat cuan, karya melambung. Lalu, apa yang kita harapkan dengan berisik?
Sudahlah kawan, budaya mengkritik di negara ini sudah mati. Mari menjilat saja.
Mari kita puja dan puji semua tulisan-tulisan indah bak mentari pagi yang menyilaukan mata itu. Mari kita sanjung hati penulis-penulis yang kita sebut bermental tempe itu. Mari kita puja-puji saja kemasukakalan ceritanya, kita selamati saja kelogisan kausalitasnya, kita puja-puji saja efisiensi kalimatnya, kita puja-puji saja diksi-diksinya.
Karena Kawan, budaya mengkritik di negara ini sudah mati. Mari menjilat saja. Mana tahu dengan terkena ludah, mereka jadi jauh lebih bijak.
4 komentar
Kiasannya mantap. Dari menjilatlah cuan itu datang.
BalasHapusSad.
HapusPara penjilat liurnya berbisa.
BalasHapusTinggal lihat, yang dijilat punya penawarnya apa enggak.
HapusApa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.