"Aku melahirkan empat anak, dan aku mati." [Hal.10]
Tidak selamanya menjadi cantik itu anugrah. Bagi beberapa orang, cantik atau tampan adalah kutukan. Bagian diri yang seharusnya menjadi sesuatu yang dibanggakan malah menjadi bagian yang benar-benar ingin dilupakan. Sesuatu yang bagi orang lain adalah kelebihan malah menjadi bagian yang benar-benar ingin dihilangkan.
Itulah yang terjadi dalam kisah yang diceritakan oleh Eka Kurniawan dalam bukunya Cantik Itu Luka. Novel ini menceritakan tentang bagaimana sebuah anugrah menjadi kutukan bagi seorang Dewi Ayu, cukup untuk membuat dia bahkan berharap anaknya tidak mendapatkan hal yang sama darinya.
Bangkit Dari Kubur
Buku ini berkisah mengenai Dewi Ayu yang bangkit dari kuburnya, kembali ke rumahnya yang lama dan mendapati semua keadaan sudah berbeda. Menjadi cantik adalah kutukan baginya. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada rupanya yang rupawan. Bahkan setelah bangkit dari kubur pun, kecantikan itu tidak hilang.
Kecantikan yang dimilikinya membawanya ke dalam kehancuran. Kecantikan membawanya pada dunia pelacuran di masa penjajahan. Kecantikan juga yang membawanya harus melayani seratus tujuh puluh dua lelaki [Hal. 3], tua maupun muda. Kecantikan itu pula lah yang membuatnya sanggup mencoba menggugurkan kandungannya yang keempat dari entah siapa bapaknya, takut anaknya itu juga cantik seperti ketiga kakaknya. Kecantikan yang terkutuk. Meski pada akhirnya anak keempat Dewi Ayu itu, yang dia namai Cantik, memiliki rupa seperti onggokan tai ayam. [Hal. 3]
Tidak ada yang tahu mengapa dia keluar dari liang lahat yang sudah menjadi rumahnya selama dua puluh satu tahun ini. Tidak ada pula yang tahu, mengapa si wanita berparas ayu itu bangkit dari kuburnya. Tapi satu yang jelas, dua puluh satu tahun setelah tubuhnya berselimut tanah, orang yang pertama kali ia temukan adalah anak gadisnya, Cantik.
Sindiran Keras Untuk Konstruksi Berpikir Masyarakat
Ada banyak sekali sindiran-sindiran yang dilontarkan Eka Kurniawan melalui bibir Dewi Ayu. Tentang betapa kerasnya dunia terhadap perempuan, tentang begitu gilanya manusia pada agama, tentang norma-norma serta standar di masyarakat yang di luar logika. Juga tentang kesulitan masyarakat membaca tanda dan pola yang ada di sekitarnya. Meski diceritakan di masa penjajahan yang jauh dari masa kini, seluruh sindiran yang terlontar di sana masih sangat relevan dengan kondisi masyarakat kita. Misalnya:
"Tak ada kutukan yang lebih mengerikan daripada mengeluarkan bayi-bayi perempuan cantik di dunia laki-laki yang mesum seperti anjing." [Hal. 5]
Dari kalimat di atas, kita bisa tahu pandangan penulis—Eka Kurniawan melalui Dewi Ayu—tentang posisi perempuan dan laki-laki dalam tatanan masyarakat. Ini juga bisa kita lihat dari kerasnya hidup Dewi Ayu sebagai pelacurnya Mama Kalong. Meski, kondisi yang dialami oleh Dewi Ayu sebagai akibat dari dirinya yang anak keturunan Belanda, yang merupakan musuh Jepang saat itu, tapi kita juga masih bisa melihat relevansinya dengan kondisi sekarang.
Belum lagi isu-isu tabu tentang pernikahan, selangkangan, juga pernikahan yang diangkat dengan cara yang sangat ekstrem melalui bibir cadas Dewi Ayu, membuat novel ini begitu kaya dengan pemahaman baru.
Jika kita ibaratkan norma dan ketabuan masyarakat adalah motor, novel ini adalah obeng dan kunci inggrisnya. Melalui Dewi Ayu, Cantik Itu Luka membongkar satu persatu konstruksi ketabuan di masyarakat, memperkosanya habis-habisan, lalu menyusunnya kembali menjadi bentuk baru, pandangan baru. Meski tidak sepenuhnya benar, tapi pandangan baru tersebut membantu kita melihat melalui kacamata yang berbeda. Kacamata seorang pelacur. As sad as its heard, that is a reality we are in right now.
Kecemasan datang dari ketidaktahuan. [Hal. 84]
Ironi Dalam Satu Paket
Pada dasarnya, kalau kita bisa menyusun kembali kepingan demi kepingan yang cerita Dewi Ayu, penyebab awal kegilaan ini dimulai adalah kakeknya sendiri, Ted Stamler. Kegilaan yang harus dibayar oleh seluruh keturunannya setelahnya.
Bahwa anak-cucunya pada akhirnya menderita karena kecantikan mereka, sebagai kutukan atas dosanya pada seorang gadis yang dia hancurkan masa depannya. Masalahnya, kutukan itu kini jatuh pada seluruh wanita yang ada di garis keturunan Stamler. Termasuk di dalamnya Dewi Ayu. Dan, bagian paling ironi dari cerita ini adalah bahwa Cantik, anak keempat dengan paras buruk rupa yang dikira Dewi Ayu akan hidup bahagia dengan parasnya, malah hidup dengan penuh derita dan bernasib tidak jauh berbeda dengan ketiga kakaknya, menjadi pemuas nafsu lelaki. Meski pada akhirnya mereka berkumpul dengan orang-orang yang mereka cintai, karena kutukan itu, pada akhirnya terpisahkan juga.
Ketiga anak Dewi Ayu menikah. Tapi, tak ada satu pun di antara mereka yang bahagia. Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik, mereka semua hancur hidupnya. Tak satu pun bahagia. Mereka, termasuk di dalamnya Dewi Ayu, dinilai hanya dari kecantikannya saja, kecantikan yang membuat pria-pria di sekeliling mereka memilki birahi berlebih. Hingga Umi berkesimpulan, sindiran Dewi Ayu yang dia lontarkan saat dilamar oleh Maman Gendeng, terasa ironis.
"Semua perempuan itu pelacur, sebab seorang istri baik-baik pun menjual kemaluannya demi mas kawin dan uang belanja, atau cinta jika itu ada." [Hal. 134]
Tidak benar menurut Umi, tapi tidak bisa ditentang.
Catatan Personal Mengenai Novel Ini
Ada banyak sekali hal di dalam buku ini yang menarik menurut Umi. Sindiran dan tingkat humornya berbeda. Umi terbahak-bahak ketika Rosinah, gadis bisu pembantu Dewi Ayu berkata:
"Tergantung pada siapa kau berdoa," Rosinah tersenyum. "Beberapa tuhan memang terbukti pelit." [Hal. 17]
Kata 'tuhan' yang tidak dikapitalisasi seperti yang seharusnya [Lihat PUEBI poin I.F.4 tentang penulisan kapital pada kata 'Tuhan'] membuat Umi paham bahwa 'tuhan' yang dimaksud bukanlah merujuk pada [Pencipta]. Meski begitu, Umi tetap tertawa mengingat betapa definisi tuhan pun bisa dijadikan bahan sindiran di sini. Perlu catatan bahwa dalam masyarakat kita, definisi tuhan tergantung pada agama apa yang kita ambil. Umi sendiri mempercayai Tuhan Yang Maha Esa. Agama lain punya Tuhan dengan sebutan lain dengan konsep ketuhanan yang berbeda. Buku ini menyindir bagian itu. Atau, setidaknya begitulah penangkapan Umi.
Karena hal tersebut, Umi merasa buku ini bukan buku yang bisa dibaca oleh semua kalangan. Ada banyak sekali konstruksi pemikiran, ironi, dan sindiran yang menurut Umi tidak bisa diambil mentah-mentah seperti apa yang tertulis. Perlu pemikiran yang matang untuk bisa membaca buku ini dan menerima apa yang ingin penulis sampaikan melalui Dewi Ayu.
Buku ini terlalu cantik. Cantik dengan ironinya. Cantik dengan kelokan-kelokan cerita yang dibuatnya. Cantik dengan segala penggambarannya. Kita akan terus membacanya, membacanya, membacanya, tanpa tahu kenapa. Meski kita menanyakannya pun, kita tidak akan pernah mendapatkan jawabannya. Satu-satunya yang mampu kita dapatkan mengapa kisah Dewi Ayu begitu memukau seperti paras ayunya adalah ....
Sebab cantik itu luka. [Hal. 505]
***