[REVIEW] Buku: Still... - Esti Kinasih
Ketika kamu membayangkan yang kamu cintai, apa yang kamu pikirkan tentangnya? Keseksiannya? Ketampanannya? Kecantikannnya? Cueknya? Atau apa? Apa yang membuatmu tergila-gila pada seseorang? Ketika akhirnya kamu menemukannya dan dia menolakmu, apa yang kamu lakukan? Ketika kamu tidak mencintai seseorang lalu kamu dipaksa untuk bersamanya, apa yang akan kamu lakukan? Ketika kamu mencintai tapi tak mampu mengatakannya, bagaimana?
Itulah yang dibahas oleh buku ini.
Ceritanya Tentang Apa, sih?
Bima adalah si posesif pecinta gunung yang enggak pernah kenal kata 'enggak'. Apa yang dia mau, harus diturutin. Enggak kenal ampun, masalah cewek pun, prinsipnya sama. Enggak kenal kata 'tidak'.
Jadilah Fani mau enggak mau pacaran sama Bima. Masalahnya, Fani enggak cinta Bima, sama sekali, malah cenderung takut. Apalagi, cowok itu terkenal bajingan di kampusnya dan di mata mantan-mantannya.
Ditambah lagi dua sohib Bima itu pacar dari Langen dan Febi, sahabat Fani, yang dua-duanya enggak benar-benar bahagia pacaran sama mereka. Dua-duanya punya keluhan masing-masing.
Karena ketiganya enggak bahagia bareng ketiga cowok itu, akhirnya mereka menjalankan misi pemberontakan dengan tanding naik gunung! Gila enggak, sih? [Cerita ini ada di novel berjudul Cewek!!! - Esti Kinasih]
Premisnya terasa keren, ya?
Hohoho, kayak yang dibilang sampulnya, ini buku teenlit. Jadi, masalah yang diangkat, enggak jauh dari teenlit lainnya, cinta, persahabatan, loyalitas, dan pemberontakan.
Bagian menarik dari novel ini adalah, hampir 227 halaman, isinya itu enggak banyak dialog. Kalau pun ada dialognya, isinya sepatah dua patah kata. Ngebikin si Umi gemes dan kesel. Eh, tapi, teknik ini beneran oke, loh, karena setiap dialog yang diungkapin si tokoh, enggak kebuang percuma.
Membahas Toxic Relationship
Hal yang paling Umi soroti dari novel ini adalah bagaimana Mba Esti Kinasih mengangkat topik emansipasi dan toxic relationship dengan cara yang super ringan dan mudah dipahami. Siapa pun pasti akan setuju jadi pacarnya Bima, Rei, atau Rangga itu enggak enak!
Eh, tapi ngomong-ngomong toxic relationship itu apa, Umi?
Toxic relationship adalah hubungan beracun yang dijalankan oleh dua atau lebih orang yang secara teknis mereka menyakiti satu sama lain. Dalam kasus di buku ini, Langen-Rei, Febi-Rangga, dan tentu saja dua tokoh utama kita Fani-Bima.
Hubungan yang sehat itu ketika kamu dan pasanganmu, satu sama lain saling membangun, mendukung, dan bahu membahu menuju ke arah yang lebih baik. Jadi, ketika kamu berada di dalam hubungan itu, yang kamu rasakan mungkin beragam, sedih, marah, kecewa, bahagia, nyaman, puas, dan berbagai macam perasaan lainnya, tapi semuanya seimbang dan memberikan perasaan terpenuhi.
Sebaliknya, ketika kamu berada di dalam hubungan yang beracun, jangankan untuk merasa terpenuhi, untuk bisa senyum saja kamu bakal mikir dulu alasannya apa? Selelah itu? Iyep.
Nah, di cerita ini, isu toxic relationship diangkat melalui tingkah Bima yang tidak menerima kata 'enggak' dari Fani. Meski, Fani berulang kali menolak. Jadi pacarnya Bima pun Fani terpaksa. Kebahagiaan apa yang bisa dirasakan Fani coba dari hubungan macam itu?
Lalu, ada kisah Langen dan Rei yang sama-sama ketinggian harga dirinya cuma untuk mengaku salah. Ini termasuk toxic relationship juga, Umi? Iyap. Ini salah satu bentuk toxic relationship juga. Karena dalam hubungan yang sehat, setiap orang yang terlibat di dalamnya harus mampu mengatakan 'maaf'.
Terus, cara mengatasi toxic relationship bagaimana?
Umi pun tidak tahu, karena Umi sendiri pernah ada di dalam hubungan semacam itu. Umi memilih untuk mundur. Kalau pakai cara Fani, dia kabur. Pakai cara Langen? Melawan mati-matian. Find your own way!
Juga Membahas Soal Stockholm Syndrome
Selain itu, novel ini juga mengambil isu stockholm syndrome jadi satu topik utamanya. Ini, sekali lagi, terlihat di cerita Bima dan Fani. Bagaimana Fani yang tadinya 'terpaksa' menjadi pacarnya Bima jadi jatuh cinta sama cowok brengsek satu itu.
Enggak masuk akal? Well, meski Umi berpikir begitu, kenyataannya cara Mba Esti membangun hubungan Fani dan Bima membuat semuanya terasa masuk akal. Karena pada dasarnya Fani tidak sungguh-sungguh membenci Bima. Fani hanya ingin bebas dan layaknya Belle di cerita Beauty and The Beast, pelan tapi pasti Fani sebenarnya menemukan kenyamanan di diri Bima.
Terlebih lagi, untuk pertama kalinya Fani merasa tertarik sama cowok atas kemauannya sendiri, bukan paksaan seperti hubungannya dengan Bima. Otomatis Fani tersesat dalam perasaan baru, perasaan lama, dan keinginan memberontak karena terlalu lama berada dalam kungkungan Bima.
[Spoiler Alert] Pendapat Umi Mengenai Buku Ini
Ini novel yang mengangkat tema posesif-obsesif, stockholm syndrome, serta toxic relationship dengan penggambaran yang, sumpah, mengerikan. Umi sampai benar-benar takut sama Bima, juga mengumpat sama keputusan-keputusan yang diambil oleh tiga cewek gila di cerita ini. Novel ini juga menggambarkan toxic relationship yang benar-benar sesuai dengan kenyataannya. Betapa menyeramkannya, betapa berbahayanya, dan betapa besar resiko hubungan yang tidak sehat ke kesehatan mental kita.
Umi juga suka sama alur cepat yang dibawa sama Mba Esti Kinasih. Meski alurnya cepat, bukan berarti karakterisasi tokoh-tokoh di dalamnya kacang-kacang. Kita tetap dibawa untuk mengenal dengan baik tokoh Bima, Fani, Rangga, Febi, Rei, dan Langen dari banyak sudut yang berbeda. Plus, karakterisasinya itu, loh, gila! Ini pertama kalinya Umi membaca novel dengan penggambaran anak gunung berandalan yang enggak banyak bacot!
Ini, loh, ini, jenis karakterisasi yang masuk akal. Seperti di akhir buku, ada momen saat Rangga ngajak Rei ngobrol dengan cara yang menurut Umi sesuai banget sama karakter mereka. Di tengah juga ada momen Bima ditabok sama Rei. Alasannya? Karena Bima enggak pernah mau tahu apa yang dirasakan Fani.
Well, secara teknis mereka bertiga (Rangga, Rei, dan Bima) cowok yang egois banget. Mereka bertiga tidak benar-benar 'mendengar' pasangannya. Lihat aja Bima, dia gak terima kata 'tidak'. Hasilnya? Lihat nasib semua mantan pacarnya. Rei? Aturan gue, elo mesti pada ngikut. Rangga? Umi hanya bisa memutar bola mata melihatnya. Tiga cowok ini hanya mementingkan egonya sendiri. Enggak pernah benar-benar menganggap pasangannya setara.
Buat Umi, Bima di novel Still... benar-benar menjadi tokoh macho, gila, psikopat, maniak, brengsek (seperti yang diungkapkan Rangga di cerita ini) yang enggak bisa dengan gampang Umi lupakan.
Good job, lah Mba Esti Kinasih.
----
Tags:
Buku
0 komentar
Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.