Hinata Umi's Work

[ABOUT ME] Bagaimana Ayah Meperlakukanmu, Um?

Suatu hari ketika aku sedang berjalan dengan Mas, ada saat di mana kami akan mencari makanan. Lapar dan memang sudah lewat dari waktu makan siang. Kencan ke sekian yang kami lakukan untuk saling mengenal satu sama lain.

Kala itu, kami sedang menunggu makanan yang kami pesan, siap untuk disajikan di meja kami. Suasana restoran itu sedikit sepi. Aku masih ingat dengan sangat jelas di restoran mana kami makan saat itu. Bakso Lapangan Tembak Senayan. Padahal, sejatinya sih Restoran itu terletak di Detos, Depok.


Saat sedang ngobrol dengan riang, sembari menunggu makanan tiba, si Mas tiba-tiba tersenyum dan menatapku lama. Aku yang kala itu sadar, hanya menatapnya balik dan terdiam tak mengerti.

Dia terus melakukannya hingga akhirnya makanan kami tiba. Aku juga, hingga saat itu, berada dalam posisi bingung hendak bertanya juga takut dengan tatapannya.

Lalu, waktupun berlalu. Si Mas mengantarkanku ke kosanku tercinta. Dalam perjalanan itu, aku memberanikan diri bertanya. Lebih untuk memuaskan rasa penasaranku yang memang tak pernah bisa kubendung.

"Mas tadi kenapa ngeliatin? Mikirin apa? Ga seneng ya deket sama Umi?"

"eh? Bukan. Tadi saya mikir, ini gadis yang akan saya nikahi. Setelah saya nikahi, tanggung jawab ayah kamu berpindah ke tangan saya. Lalu, saya berpikir seperti apa ayah gadis ini memperlakukanya?"

Sebelumnya, aku tidak pernah berpikir seperti itu.

Yang kutahu adalah, aku mencintai ayahku. Mencintainya secara istimewa.

Tapi pertanyaan itu sungguh menggangguku sebenarnya. Hingga aku mulai bertanya-tanya, seperti apa ayah memperlakukanku?


Jawabanku : Seperti Putri

Aku pernah ngobrol dengan beberapa pria yang mengeluh dengan wanitanya yang bersikap seperti seorang putri. Manja. Banyak minta. Ingin hidup nyaman.

Let me tell you this!

Dulu aku sempat berpikir menjadi seperti itu buruk. Tapi jika kuingat lagi bagaimana ayah memperlakukanku, rasanya sikap mereka menjadi wajar-wajar saja.

Bagaimana tidak? Ayahku tidak pernah membiarkan aku tidur terlalu malam dan bangun terlalu pagi. Ia memintaku tidur jam 10, bangun jam 4. Minimal 6 jam tidur. Itu belum ditambah dengan tidur siang.

Aku tidak pernah dibiarkan mengangkat sesuatu yang berat," ini tugas ayah dan Fahmi, bukan Sari," katanya. Ia sangat melindungiku dari segala macam pekerjaan berat. Mengangkat meja, koper (walaupun ringan), lemari, atau apapun yang berat itu selalu diambilalih ayah dan Fahmi.

Uang? Itu apalagi. Setitikpun aku tak pernah berpikir masalah uang. Tidur nyenyak makan enak. "bukan urusanmu itu," ujarnya setiap kali aku bertanya apakah ia punya uang atau tidak.

Pernah suatu kali aku utarakan niatku untuk bekerja sambil kuliah. Dengan sedih ia menatapku, "kurang uangnya nak'e? Kalau iya, bilang sama ayah, biar ayah lebihkan."

Padahal aku sangat tahu, kala itu, ia tidak punya cukup uang. Aku bekerjapun lebih ke aktualisasi diri, bukan sebagai mata pencaharian. Ia sebegitu khawatirnya jika aku bekerja.

Pernah juga ia bertanya, "makan apa hari ini nak'e?" dan kujawab dengan telur. Dengan khawatir ia bertanya, masih ada uang atau tidak, kenapa makan telur. Padahal di sini, di daerah rantau ini, makanan itu malah yang biasa dimakan.

Ia tak pernah membiarkanku pulang malam sendirian. Juga tak pernah membiarkan aku keluar di saat malam hari. Ia tak pernah membuatku merasa tersisihkan. Ia melindungiku. Menjadi perisai, menjadi suporter utama, pelindung utama, penjaga utama, penyokong utama.

Ia begitu sayang padaku, hingga segalanya ia sediakan.

Lalu, jika ada yang bertanya padaku, bagaimana ayah memperlakukanku? Maka aku katakan, seperti putri. 


Share:

0 komentar

Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.