"Lil... lo mau kemana?"
Tommy, pemuda berjanggut panjang yang dikenal sebagai pria alim di kampus, berjalan mendekati seorang gadis yang... tidak dapat dikatakan sebagai gadis sempurna.
"Iya, elo! Khalila Hanasya. Gue nanya lo mau kemana?"
Sekali lagi, di hadapan Tommy, gadis berjilbab seruti dengan renda di pinggirannya itu menunjukkan wajah bingung. Tommy sadar, itu wajar. Mengetahui nama gadis itu mungkin membuatnya terlihat seperti seorang penguntit. Bagaimana mungkin Tommy mengetahui namanya sedangkan semua orang melupakan dirinya. Menganggapnya tak ada.
"Eh.. aku.. eh gue.. mau pulang. Ada apa?" Ucap gadis itu salah tingkah. Sesekali ia membetulkan letak kacamatanya yang turun dan buku-buku desain di tangannya yang hampir berjatuhan.
"Gue ada perlu sama lo. Boleh kita bicara sebentar?" Tatapan itu lagi. Tatapan tidak nyaman. Mengapa gadis ini selalu menghindar ketika harus berinteraksi dengan orang lain?
"Ka.. Kalau aku ga mau, boleh?" Ucapnya bergetar. Kali ini, bukan tatapan heran, bingung, atau ragu yang terlihat di mata gadis itu. Ya. Jelas sekali. Tatapan itu. Tatapan takut. Lihatlah, kini ia melangkah mundur perlahan menjauh dari Tommy.
"Kenapa lo malah takut sama gue, Lila? Gue cuma mau nanya sama lo tentang pernikahan Reka dan Karin bulan depan. Lo kan dijadiin panitia." Tak tahan, akhirnya Tommy mengucapkan juga tujuannya mengajak Lila, si Gadis Pendiam itu, mengobrol.
"Eh? Kamu kenal Reka dan Karin? Kok bisa?" Kini tatapan ketakutan hilang tergantikan dengan tatapan ramah dari si gadis berkacamata coklat itu.
"Ya kenallah. Ayo, gue butuh buat ngobrol sama lo! Lo megang interior creative design-nya kan?" Tommy tanpa menunggu langsung berjalan berbalik menuju salah satu cafe terdekat di daerah situ.
Dan lihatlah, kini Lila mengikutinya tanpa paksaan. Diam dan berjalan dengan tenang di belakangnya. Dari sudut matanya Tommy memperhatikan pergerakan kaki gadis itu. Memastikan gadis itu tetap melangkah di belakangnya. Memastikan gadis itu aman. Bagaimanapun ia sudah mengajak Lila keluar, ia berkewajiban pula menjaganya.
---
"Jadi, Reka minta gue untuk membuat semacam karangan bunga dan instalasi-instalasi seni di pesta pernikahan mereka."
Lila menatapnya dengan diam. Seperti menunggu Tommy untuk melanjutkan ceritanya.
"Nah, aku ingin tahu, seperti apa desain ruangan yang sudah kau buat. Setidaknya aku tahu temanya pasti
Red Flower tapi aku ingin tahu bentuk dan tata ruangnya. Agar instalasi yang kubuat tidak merusak desain ruangan darimu."
Lila masih menatapnya dalam diam. Cenderung bengong malah. Sekali lagi ia membenarkan letak kacamatanya yang turun. Lalu, dengan pelan ia menyeruput minuman di hadapannya dan kembali menatap Tommy. Menunggu Tommy kembali menjelaskan maksudnya.
Kenapa gadis ini diam saja sih? Kata Tommy di dalam hatinya. Menyebalkan juga rasanya jika sudah menjelaskan panjang lebar dan dibalas dengan diam seperti ini.
"Lo ga bisa ngomong ya?" Akhirnya Tommy mulai jengah dipandangi Lila sedemikian rupa.
Apa Reka dan Karin tidak salah orang?
"Eh? Kamu udah selesai ngomong?" Wajah gadis itu membuat Tommy mau tidak mau ingin menepuk kepalanya sendiri. Gadis ini membuatnya bagai seorang petugas MLM yang sedang menjelaskan keuntungan bergabung dengan komunitas mereka. Tidak menarik, tidak diperhatikan. Menyebalkan.
"Menurut lo?" ucapnya gemas. Benar-benar. Gadis ini benar-benar berbeda dari gadis-gadis lain yang ia kenal.
"Oh, oke. Terus?" Kali ini Tommy bingung.
Apa maksud gadis ini dengan bertanya? Bukankah sudah jelas?
"Terus apa?" Tommy hanya dapat memberikan tatapan tak mengertinya pada Lila. Tommy benar-benar tidak mengerti sebenarnya apa yang sedang ditanyakan oleh sang Gadis.
"Iya, terus kamu mau apa?" Sekali lagi Lila bertanya sesuatu yang membuat Tommy pergi dari tempat itu dan terjun saja dari lantai tertinggi gedung kampusnya.
Yang benar saja?
...to-the-point, Tommy akhirnya menjelaskan saja keinginannya pada Lila, "aku ingin tahu desain seperti apa yang sudah kamu buat. Apa kamu membawa desain ruangannya sekarang?"
"Ooh.. bilang dari tadi dong, Tom. Kan aku jadi ga bingung." Tommy hanya bisa meremas celananya kuat di bawah meja sambil berusaha tersenyum semanis mungkin.
Ya, dari tadi juga aku udah bilang, Lila! Geramnya dalam hati. Tak ia ucapkan, hanya tersuarakan dari hatinya saja.
"Jadi?" Tommy menunggu Lila untuk menunjukkan desain-nya yang tak kunjung dikeluarkan.
"Jadi?" ulang Lila yang semakin saja membuat Tommy gemas. Jika Lila sedang bercanda dengannya sekarang, maka, jujur saja, bagi Tommy candaan Lila tidak lucu!
"Jadi, Apakah. kamu. Sekarang. Membawa. Desainnya, Lila?" Ucapnya dengan lengkap dan
to-the-point.
"Sayangnya, aku meninggalkannya di kosan. Kalau emang kamu perlu banget, hmm... mungkin kita bisa ke kosanku buat ambil kopian desain-nya. Gimana?" Kalimat terpanjang yang diucapkan Lila sejak pertama tadi Tommy menjumpainya dan sukses membuat Tommy melongo
bego.
"Lo kenapa, Tom?" tanya Lila akhirnya setelah beberapa menit Tommy tidak angkat suara.
"Gue takjub ternyata lo bisa juga ngomong panjang." Sekali lagi, Tommy hanya bisa melongo setelah mengatakan kalimat itu ke Lila.
"Emang gue ngomong apaan?"
"Tidak ada!" Geram Tommy, menahan kesalnya yang sudah sampai diubun-ubun. " Jadi kira-kira kapan bisa aku lihat desain yang telah kamu buat, Lila?"
"Kapanpun kamu bersedia melihatnya. Bagaimana kalau besok saja? Aku sedang dikejar deadline untuk ngasih desain Toko baru di seberang jalan itu."
Tommy terdiam sebentar. Menatap toko yang baru saja ditunjuk oleh Lila. Toko itu adalah sebuah toko roti kegemaran anak kampus mereka. Sejak kemarin tutup karena sedang direnovasi. Tommy baru tahu kalau Lila-lah yang bertanggung jawab terhadap desain toko itu.
Kemana saja kau Tommy?
Bukankah dia memang sudah mengetahui kalau Lila memang salah satu mahasiswi berbakat di bidang
interior creative design?
Desain yang dibuat Lila memang selalu berhasil mengait hati para klien-nya. Bukan hanya tampilannya saja yang bagus, namun juga bertahan cukup lama, selain memang desainnya sesuai dengan tujuan dari toko yang bersangkutan.
"Boleh, besok? Dimana dan jam berapa?" Tommy bertanya dengan mata memandang lurus ke arah minumannya. Bagaimanapun ia tetap harus menjaga pandangan bukan?
"Deadline desain Toko Pak Ucup besok jam 12 siang, bagaimana kalau besok sekalian aku makan siang saja?"
"Oke, jangan ditunda ya?
"
"Apanya?" Oke. Lila kembali lagi dengan sifat telatnya. Tommy lagi-lagi hanya bisa terdiam kesal sambil menyeruput teh manis yang sudah kehabisan es batu di hadapannya.
"Enggak Lil! Besok, jam 12 siang di depan Toko Pak Ucup ya?"
"Oke!"
Gadis itu, tanpa melihat lagi langsung beranjak pergi dari tempat duduknya. Dari dalam kafe, Tommy menatap Lila bergerak menuju sepeda manis berwarna pink di parkiran kampus yang memang jaraknya sangat dekat dengan kafe tempat mereka mengobrol.
Dalam pandangannya Tommy bergumam.
"Gadis ini, kalau ia seperti itu, siapakah yang akan mau menikahinya?"
***