“Saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah saling tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran”
- Al-Qur'an Surah Al Maidah : 2 -
***
"Mah, hari ini Lila ngerjain sesuatu di sekolah, lho!" Gadis kecil berpita merah itu menatapku dengan wajah sumringah. Sangat jarang ia menunjukkan wajah seperti ini.
Biasanya, ia selalu pulang dalam wajah kusut nan lesu. Menghela nafas berkali-kali. Menyeret tas kecilnya di lantai. Tak ada gairah. Tak ada sinar di matanya.
Tentu saja perubahan ini membuatku sedikit awas. Ada apa?
"Oh ya? Memangnya ada apa?" Kusejajarkan mataku padanya. Menatapnya dari jarak dekat yang ia sukai. Dengan ini kami berada di derajat pandang yang sama. Cara ibu dulu bersikap padaku kala aku masih kanak-kanak.
"Tadi, Lila dimintai tolong oleh bu guru, Mah. Itu Mah, tadi Lila dimintai tolong sama bu Guru, buat bikinin origami. Kan bentar lagi hari ibu," dia semakin sumringah menceritakan setiap detail kegiatannya di sekolah.
Binar di matanya membuatku menyadari sesuatu, gadis kecilku, sedang merasa sangat dihargai oleh ibu gurunya.
"Oh ya? Terus origaminya mana? Kok mama ga dikasih satu?"
"Yah, Tadi Lila kasih semuanya buat, Bu guru. Soalnya kata bu guru origaminya mau dipasang di kelas." si Lima Tahunku tersenyum sambil mengeluarkan kotak bekalnya yang memang setiap pagi kusiapkan. Agar ia tak jajan sembarangan.
"Memangnya tadi bikin origami apa?"
"Eumm, itu Mah, origami bunga mawar. Warnanya merah terus digantung-gantung di dinding. Kayak cicak. Mama harus lihat nanti pas Hari Ibu," ujarnya sambil menyerahkan kotak bekalnya kepadaku. Memang kubiasakan seperti itu. Mendidiknya agar bertanggungjawab terhadap barang-barangnya.
"Oke!!!! Siap! Mama InsyaAllah akan datang!"
"Lila mau bobok dulu deh, capek!"
Aku tersenyum mendengar penuturannya. Gadis kecilku berkembang menjadi gadis dewasa tanpa hitungan waktu. Sekejap sekali.
"Ya sudah, istirahat dulu yuk kita nak, kamu pasti sudah capek. Ambil wudhu' terus istirahat yah," kukecup keningnya untuk memberikan rasa hangat tidak hanya ke tubuhnya, tapi juga hatinya.
Berlari kecil ia menunju kamarnya. Seperti aku yang kini termenung. Mengingat kembali betapa ajaibnya kata Tolong dalam merubah mood anakku. Betapa ajaibnya kata itu sehingga dapat menjadikan kehidupan sekolah anakku menjadi ceria.
Mungkin, nanti aku akan gunakan kata itu untuk membawa dia ke perasaan yang sangat ia suka, perasaan dihargai.
- - - -
D i T e m p a t L a i n
- - - -
"Kenapa sih Lo ga minta tolong aja, Ren? Apa susahnya sih minta tolong?" Dia mencengkeram kerah putih Rendi.
"Gue ...," Rendi di sisi lain terdiam. Ia tahu, satu-satunya hal yang menghalanginya untuk mengucapkan kata-kata itu adalah harga dirinya sendiri. Ia malu merendahkan diri meminta tolong pada seseorang yang belum tentu akan menolongnya.
"Ren, gue temen Lo bukan sih?"
"Gue khawatir lo akan keberatan," wajah Rendi pias. Ia tahu, hanya dengan meminta tolong masalahnya sudah akan selesai dari beberapa tahun yang lalu. Apalagi, di tangan orang yang ada di hadapannya ini, masalah seperti yang dihadapinya hanya terbilang debu saja.
"Ren, kita udah sohiban sejak gue masih pipis di celana. Lo harusnya tahu bahwa gue bukan orang yang dengan semudah itu nolak permintaan tolong, apalagi itu datangnya dari Lo!"
"Kalau Lo ngasih tahu tentang ini sejak dulu Ren, mungkin masalahnya akan lebih mudah dan ga berlarut-larut. Apalagi sampai membuat lo hidup susah begini."
"Gue ..."
"Ya sudahlah, kita cari jalan keluarnya aja sekarang,"
Rendi terdiam. Ia akan mengingat ini selamanya. Bahwa di dalam keadaan seperti itu, ia harus bisa meminta tolong. Karena kalau tidak, kehidupannya akan sulit. Bahwa kata ajaib itu, tidak hanya membuatnya merasa lega, juga secara tidak langsung memberikan perasaan bahagia ke sohibnya.
Bahwa kata ajaib itu, bisa saja, menyelesaikan masalah beratnya dalam kurun waktu yang sangat singkat. Bentuk ikhtiarnya atas doa yang selalu ia panjatkan.