Mungkin ini bukan topik baru untuk teman-teman. Mungkin juga, dengan malang-melintangnya influencer serta rising star di dunia persosialmediaan, teman-teman sudah muak dengan topik ini. Topik ini lagi, topik ini lagi.
Namun, seperti mereka yang tidak lelah mengedukasi netizen, saya pun berkeberatan untuk tidak menuliskannya di sini. Ini tentang kesadaran, kesadaran harus terus-menerus diingatkan sebelum akhirnya terbiasa.
Topik itu adalah mutual consent. Sesuatu yang, sepertinya, orang Indonesia sering abaikan sejak dulu. Eh, bukan hanya Indonesia, negara lain pun sepertinya sama. Terbukti dengan adanya stalker, sasaeng, private data seller, dan berbagai jenis pemburu berita lainnya.
Mari kita ambil contoh kasus, teman-teman tentu tahu, dong, kasus yang sempat marak di media sosial. Kasus gadis cantik bernama Zara, dan pacarnya yang bernama Okin. Hampir semua lambe ikut-ikutan meniup bara untuk kasus itu, tidak terkecuali saya, karena saya menuliskan mereka di artikel ini. Usut punya usut, kasus itu muncul setelah salah satu close friend Zara memublikasikan video yang aktris satu itu unggah di Stories Instagramnya. Apakah teman-temannya itu meminta izin padanya sebelum memublikasikan video itu? TIDAK.
Mari kita ambil contoh kasus lain. Seorang teman saya, memublikasikan keluhannya pada tempat dia bekerja. Katanya, perusahaan itu tidak profesional dalam mengapresiasi pekerjaan pegawainya. Kiriman itu, diatur sedemikian rupa hingga hanya teman-temannya saja yang bisa melihatnya. Dua minggu setelah kiriman itu diunggah, teman saya ini dipecat dari perusahaannya. Ketika ditelusuri, ternyata keluhannya di sosial media waktu itu, ditangkap dan dikirimkan ke tim HRD perusahaan yang berujung dengan ancaman UU ITE. Apakah hasil tangkapan itu dikirimkan ke HRD setelah ada consent? Tentu tidak.
Masih kurang?
Coba kita cari contoh lain. Suatu hari ada seorang, anggaplah, bocah (terlepas dari umurnya) melakukan kesalahan. Kesalahan ini menurut saya, bisa saja diabaikan atau diberi peringatan oleh orang yang disalahi. Tapi, tidak. Orang yang mengatakan dirinya adalah korban dari si bocah, mengambil tangkapan layar dari kesalahan itu, memublikasikannya di tempat yang bisa dilihat banyak orang, lalu beramai-ramai menertawakannya. Dalihnya apa? Agar jadi pelajaran untuk orang lain, minimal teman-teman dekatnya. Padahal, kesalahan itu terjadi di ranah privat, dan tangkapan itu diarak di tempat umum.
Apakah itu kamu?
Saya tidak berbicara mengenai pelaku-pelaku tindak kriminal, ya. Karena tindak kriminal sudah ada 'pengaturannya' sendiri, yang sudah resmi diatur oleh undang-undang, yang harusnya juga disadari bukan hanya oleh pelaku tapi juga oleh 'pelaku yang merasa jadi korban' ini.
Yang membuat saya lebih meringis lagi, pelaku yang merasa jadi korban ini adalah orang yang sibuk berbicara tentang consent. Sesuatu yang membuat saya, sebagai penyimak, mengernyitkan dahi lalu bertanya-tanya, apakah orang ini tahu definisi dari yang dikoar-koarkannya selama ini?
1. Definisi Consent
Persetujuan afirmatif yang diberikan secara sadar, volunter, dan tidak dalam hasutan atau ancaman untuk terlibat dalam berbagai aktivitas seksual atau non-seksual.
Dari definisi itu, kita seharusnya tidak lagi menilik-nilik atau menerka-nerka, ya, arti dan makna dari kata consent. Jelas, tedas, dan jelah. Artinya, kalau kita bicara tentang consent, dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, kita juga berbicara tenang izin dan persetujuan.
2. Consent VS Privasi
Berbicara soal
consent sangat erat kaitannya dengan privasi. Apa-apa yang menjadi pelanggaran privasi biasanya disertai juga dengan
consent yang dilanggar.
Privasi menurut KBBI V adalah 'keluasan pribadi, kebebasan'. Oh, sampai sini kita paham, ya. Dari situ saja, kita sebenarnya sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa privasi terkait pada batas-batas privat yang tidak boleh dilanggar, kaitannya ke individu, bukan lagi ke komunitas.
Kamu ke kamar mandi, buang air, itu ranah privat. Thus, privasi.
Data pribadimu, namamu, NIK, KTP, wajah, alamat, itu ranah privat. Kamu berhak untuk menyembunyikannya. Thus, privasi.
Kamu ke tukang sayur, ngobrol dengan ibu-ibu di sana, apa yang kamu omongkan saat itu, itu ranah publik. Semua yang kamu katakan di sana, jadi makanan publik. Thus, bukan privasi.
Kamu kirim pesan melalui jalur pribadi, direct message, messenger, atau aplikasi perpesanan lain yang sifatnya hanya kamu dan penerimamu yang bisa baca, itu juga ranah privat. Thus, privasi.
Kamu kirim anuan ke grup komunitas yang isinya lingkaran pertemananmu, itu ranah privat komunitas. Thus, kamu memberi izin pada komunitas untuk mengonsumsi itu. Apakah komunitas atau ownernya boleh menyebarkan anuanmu? TIDAK, selama tidak ada consent darimu. Terutama, jika itu topik spesifik dan pribadi.
Sampai di sini, mudah-mudahan bisa diterima, ya.
3. Pelanggaran Consent dan Privasi di Era Digital
Sayangnya, yang terjadi di dunia maya saat ini menurut saya, ehem, memalukan.
Pesan-pesan jalur pribadi dipublikasikan tanpa penutup, ditertawakan beramai-ramai di ranah publik. Ketika ditanya, apakah sudah mendapat izin dari lawan bicaranya? NGAPAIN? Begitulah jawabnya menggebu-gebu tanpa rasa bersalah.
Sebaliknya, jika dia yang diperlakukan begitu oleh orang lain, hem, dia akan jadi orang yang paling pertama berkoar-koar mengenai pentingnya mutual-consent. Bertingkah selayaknya korban yang paling nelangsa dari pelanggaran privasi ini.
Oh, ada juga yang bertingkah selayaknya pahlawan bagi khalayak ramai. Biar saling mengingatkan, Bun! dalihnya ketika diingatkan.
Di sini, saya hanya bisa meringis miris. Di satu sisi saya merasa sedih, di sisi lain saya merasa gundah. Apakah semuanya bisa selesai dengan dalih edukasi? Kalau bisa, apakah lantas nanti akan ada konten-konten lain yang menghina orang lain dengan dalih yang sama? Dibiarkan begitu saja? Dimafhumi? Dan ketika diingatkan, pelaku hanya tinggal minta maaf saja?
Biar jadi sanksi sosial, Kak.
Ketika ada yang menjawab begitu, saya menggeleng. Apakah kita seyakin itu yang kita lakukan adalah bentuk sanksi? Bukan pemuasan amarah atau ego? Lalu, apa bedanya kita dengan massa yang mengeroyok dan membakar terduga maling speaker masjid di Bekasi yang dulu sempat viral itu?
Di titik ini, kita bisa mulai mempertanyakan tindakan kita kembali.
4. Consent Bukan Hanya Masalah Seksualitas, Tapi Masalah Mindset
Selama ini, ketika topik mutual-consent diangkat, yang menjadi sorotan hanya tentang seksualitas. Ada beberapa yang mengangkat isu ini di ranah lain, tapi di saat yang sama, dia menjilat ludahnya sendiri.
Padahal, mutual-consent bukan hanya tentang selangkangan semata. Bukan hanya tentang mengurusi kamar dan ranjang tetangga. Tapi juga tentang menghormati orang lain. Bahwa tiap individu punya batas toleransi yang berbeda.
Meminta izin berarti kamu menghormati batas itu. Indah, bukan?
Ada yang suka dikirimi pesan di rentang waktu bekerja saja. Ketika kamu mengirim di luar waktu itu, apa salahnya bertanya "Kak, ada waktu?" Sebelum mengutarakan maksudmu.
Ada yang tidak suka berbasa-basi, apa salahnya ketika mengirim pesan kamu bertanya, "Kak, saya mau bertanya soal A, B, dan C. Apakah ada waktu luang untuk menjawabnya?"
Ada yang tidak suka ditelepon. Apa salahnya jika bertanya, "Kak, saya mau membicarakan ini, Kakak di waktu ini bisa dihubungi tidak?"
Momen yang paling membahagiakan untuk saya adalah ketika ada seorang teman yang mengambil tangkapan layar dari status Whatsapp saya untuk disebarluaskan. Namun, sebelum dia menyebarkannya, dia menunggu izin dari saya. Jadi bukan cuma "Boleh aku share, Kak?", dia juga menunggu saya menjawab 'boleh' atau 'tidak' sebelum menyebarkannya ke tempat-tempat lain. Padahal itu ranah publik. Saya merasa sangat dihargai, dan karenanya saya sangat menghormati beliau.
Di dunia ini, menghormati adalah hal yang paling indah dan (harusnya) paling mudah dilakukan. Dan, seperti semua hal paling sederhana dan paling mudah di dunia lainnya, dia selalu diremehkan dan diabaikan.
5. Boleh Orang Ngomong Consent Tapi Tidak Sadar Consent?
Ya boleh, tidak ada larangan tentang ini di mana pun. Namun menurut saya, sebagai orang yang mencoba menyadarkan orang lain pentingnya suatu isu, ada baiknya kita sendiri menanamkan mindset yang sama dengan apa yang kita koarkan.
Menjadi orang yang dianggap menjilat ludah sendiri itu, sangat tidak menyenangkan, loh. Kita harus mulai membiasakan diri untuk 'malu sama mulut, malu sama jari'. Karena kalau tidak begitu, kita akan sama saja dengan orang-orang yang gampang menyebarkan hoax tanpa crosscheck kebenarannya.
Banyak omong, ilmunya tidak ada.
Salam,
dari pengamat yang sedang membaca