Membaca tulisan Om Tere Liye dalam bukunya Selamat Tinggal, membuat Umi berpikir banyak. Satu di antaranya, tentang betapa nistanya seorang penulis di mata pembaca ketika dia mengharapkan hasil berupa uang dari hasil tulisnya.
"Jadi penulis, mbok, ya yang ikhlas kalau nulis. Apalagi kami ini juga butuh makan, butuh uang buat bayar sekolah anak. Butuh duit buat beli kuota. Pandemi gini kami juga butuh hiburan."
Kata salah satu kiriman di Twitter. Padahal, penulis juga butuh makan agar bisa produktif, butuh uang dari hasil tulis untuk membayar sekolah anak-anaknya, butuh kuota untuk riset agar tulisannya benar-benar menyentuh target pasarnya.
"Kalau enggak mau karyanya direproduksi, ya, gak usah nulis. Gitu aja, kok, repot!"
Tulis salah satu pegiat percetakan reproduksi—kalau tidak mau disebut pelaku penjiplakan karya tulis—di salah satu media sosial, dan itu diamini oleh berpuluh-ratus-ribu pengguna sosial media lainnya yang mengikutinya. Padahal, jika penulis berhenti berkarya, matilah usahanya.
"Kalau mau nyari duit enggak usah nulis, Mba, ngamen aja sono."
Yang seperti ini, ketika melihat pengamen pun dia tidak akan memberikan apapun. Kenapa? Karena kemampuannya dalam mengapresiasi karya nol besar.
"Halah, penulis tuh tugasnya nulis, bukan protes karyanya dibajak."
Bagaimana kalau gawai mahal keluaran terbaru yang ada di tangannya hilang, ya? Apakah dia akan diteriaki oleh si maling dengan 'Halah, pengguna ponsel tuh tugasnya beli ponsel baru, bukan teriakin maling'?
"Harusnya kamu senang tulisan kamu dibaca, gratisan atau enggak, kamu tetap terkenal. Banyak yang menyukai karyamu."
Umi tidak akan menampik, karya yang dinikmati dan diapresiasi (entah itu dalam bentuk pujian atau kritikan) oleh para penikmatnya membuat penciptaan karya tersebut terasa tidak sia-sia. Namun, apakah apresiasi dalam bentuk itu saja cukup? Apa keterkenalan dapat mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan para penulis?
"Zaman dulu, penulis mah gak nyari uang. Mereka menulis untuk menyebarkan semangat perjuangan. Mereka tidak peduli karya mereka difotokopi atau dicetak ulang. Bagi mereka semakin banyak yang membaca, semakin bagus."
Pada zaman itu, fokus para penulis adalah memerdekaan Indonesia. Sekarang? Para penulis berjuang memerdekakan kehidupan keluarganya dari kebutuhan sehari-hari. Bukankah semangatnya masih berjuang?
"Tulisan yang didasarkan untuk mencari uang, akan kehilangan maknanya, Kak."
"Tapi, fokus mencari penghasilan membuat tulisan-tulisan yang muncul di dunia literasi sekarang-sekarang ini dangkal amanat. Dangkal ilmu."
Untuk ini, Umi sedikit banyak mengangguk.
Ya, jika kita berbicara soal zaman, ada perbedaan definisi dan standar kualitas karya tulis yang disajikan para penulis sekarang dengan dulu. Atas alasan tersebut, kualitas karya tetap tidak bisa menjadi pembenaran untuk tidak memberikan hak penulis—seperti pendapatan yang layak—atas karyanya.
Sayangnya, dengan menjamurnya platform daring, buku bajakan, serta penerbit kecil yang menerapkan praktik buruk, aturan mengenai pemberian hak penulis ini seakan-akan diabaikan begitu saja.
Umi kerap menemukan penulis-penulis yang mengeluh tentang haknya yang tidak dipenuhi, kebijakan-kebijakan yang berubah secara sepihak, atau naskah-naskah yang dicuri dan diperjualbelikan secara ilegal. Ini diperparah pula dengan kultur gratisan, mental korban, dan mental cukup-dibayar-dengan-pahala yang dimiliki para pembaca yang malas mengeluarkan kocek untuk hiburan yang mereka nikmati—yang tentu saja bukan hanya terjadi di karya tulis, juga di bentuk karya-karya lainnya.
Di satu sisi, mereka ingin menikmati hiburan yang berkualitas sesuai standar mereka. Di sisi lain, mereka enggan memberikan apresiasi finansial atas kualitas yang mereka dapat. Ironisnya, jika hal tersebut—menyediakan jasa atau produk namun tidak dibayar—terjadi pada mereka, mereka mencak-mencak, berteriak meminta haknya diberikan.
Di negara ini, menulis tidak boleh jadi profesi. Karena penulis adalah profesi mulia. Cukup dibayar dengan pahala saja, mungkin sedikit dosa karena sudah mengutuk pembaca. Tidak peduli penulis juga manusia, yang butuh makan juga.
***
Bekasi, 14 Desember 2020