"Kalau cinta mengutamakan logika, mungkin kini aku belum menikah."
-Umroh, 2018-
***
Setiap buka FB, aku selalu menemukan hal-hal menarik untuk diceritakan disini. Baik sebagai catatan untuk diriku di masa depan atau untuk anakku jika aku tak mendapatkan kesempatan menemui mereka di kehidupan ini.
Jadi ceritanya aku membaca sebuah post yang aku temukan di sebuah tempat di jagat Facebook, isinya tentang seorang wanita yang mencintai seorang pria yang sama sekali tidak pernah ditemuinya. Pria ini baik dan tidak memanfaatkan kesempatan sama sekali. Maka singkat cerita mereka menikah di hari pertama mereka bertemu. Si pria melamar si Gadis dari Messenger dan si Gadis menerimanya. Si cowok adalah seorang programmer. Bukankah cerita ini terdengar sempurna? Satu hal yang tidak membuat cerita ini menjadi sempurna, si pria ada pria yang lumpuh dari pinggang ke bawah. Otomatis ia tidak bisa menjalani fungsinya sebagai suami, bukan?
Cerita ini viral sekali di Facebook sampai bahkan muncul berkali-kali di lini masaku dibagikan oleh orang yang berbeda.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan cerita ini. Yang salah adalah saat aku membaca salah satu komentar yang ditinggalkan netizen disana, isinya kira-kira begini, "kalau cinta pake logika dong Mba, masa nikah sama yang ga bisa ngapa-ngapain kamu."
Di saat itu aku merasa geram, kesal, marah dan segala hal. Ini yang kami aktivis pembela perempuan sebut dengan mental pemerkosa. Aku akan jelaskan tentang istilah mental pemerkosa ini dalam kesempatan lain.
Aku ingat masa dimana aku dan suamiku memutuskan menikah. Karena apa kami menikah? Cinta? Tidak juga. Kenal secara nyata sekian lama? Tidak. Sering bertemu? Cuma sekali, tidak sampai 1 menit.
Kalaulah aku dan suamiku pakai logika orang Indonesia, dimana Facebook adalah sarang penjahat, maka saat ini aku mungkin saja belum menikah.
Logika itu perlu. Tapi ada yang perlu dipikirkan secara matang dan ada juga yang tidak.
Kalau kita kembali ke cerita di atas misalnya, apakah kelumpuhan si pria menghalangi si perempuan untuk menikah? Tidak. Apakah si wanita keberatan? Tidak. Apakah si pria adalah orang jahat? Tidak.
Secara akal sehat dan naluri bertahan hidup, tentu saja kebanyakan manusia tidak mau memiliki pasangan yang lumpuh. Namun beda dengan akal hati. Ketika menikah, kita butuh menyeimbangkan antara hati dan otak. Logika terlalu banyak membuat kita kadang lupa berempati. Perasaan terlalu banyak kadang membuat kita terlalu mudah dimanfaatkan. Maka kita harus menyeimbangkannya.
Benar. Menikah memang bukan perkara keputusan yang mudah. Maka harus benar-benar dipikirkan secara matang dengan siapa kau menikah, mengapa kau menikah, bagaimana kau akan menikah, apa yang membuat pernikahan itu berarti, dimana dan kapan kau menikah. Semua itu memang harus dipikirkan secara matang.
Bagitulah.
Seimbangkan. Jangan condong terlalu ke kanan, jangan condong terlalu ke kiri. Buka mata dan tetap buka mata, hati, telinga dan mulut, serta otak untuk mempertimbangkan segala kemungkinan. Dengan begitu kamu akan selamat.
Jadi ceritanya aku membaca sebuah post yang aku temukan di sebuah tempat di jagat Facebook, isinya tentang seorang wanita yang mencintai seorang pria yang sama sekali tidak pernah ditemuinya. Pria ini baik dan tidak memanfaatkan kesempatan sama sekali. Maka singkat cerita mereka menikah di hari pertama mereka bertemu. Si pria melamar si Gadis dari Messenger dan si Gadis menerimanya. Si cowok adalah seorang programmer. Bukankah cerita ini terdengar sempurna? Satu hal yang tidak membuat cerita ini menjadi sempurna, si pria ada pria yang lumpuh dari pinggang ke bawah. Otomatis ia tidak bisa menjalani fungsinya sebagai suami, bukan?
Cerita ini viral sekali di Facebook sampai bahkan muncul berkali-kali di lini masaku dibagikan oleh orang yang berbeda.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan cerita ini. Yang salah adalah saat aku membaca salah satu komentar yang ditinggalkan netizen disana, isinya kira-kira begini, "kalau cinta pake logika dong Mba, masa nikah sama yang ga bisa ngapa-ngapain kamu."
Di saat itu aku merasa geram, kesal, marah dan segala hal. Ini yang kami aktivis pembela perempuan sebut dengan mental pemerkosa. Aku akan jelaskan tentang istilah mental pemerkosa ini dalam kesempatan lain.
Aku ingat masa dimana aku dan suamiku memutuskan menikah. Karena apa kami menikah? Cinta? Tidak juga. Kenal secara nyata sekian lama? Tidak. Sering bertemu? Cuma sekali, tidak sampai 1 menit.
Kalaulah aku dan suamiku pakai logika orang Indonesia, dimana Facebook adalah sarang penjahat, maka saat ini aku mungkin saja belum menikah.
Logika itu perlu. Tapi ada yang perlu dipikirkan secara matang dan ada juga yang tidak.
Kalau kita kembali ke cerita di atas misalnya, apakah kelumpuhan si pria menghalangi si perempuan untuk menikah? Tidak. Apakah si wanita keberatan? Tidak. Apakah si pria adalah orang jahat? Tidak.
Secara akal sehat dan naluri bertahan hidup, tentu saja kebanyakan manusia tidak mau memiliki pasangan yang lumpuh. Namun beda dengan akal hati. Ketika menikah, kita butuh menyeimbangkan antara hati dan otak. Logika terlalu banyak membuat kita kadang lupa berempati. Perasaan terlalu banyak kadang membuat kita terlalu mudah dimanfaatkan. Maka kita harus menyeimbangkannya.
Benar. Menikah memang bukan perkara keputusan yang mudah. Maka harus benar-benar dipikirkan secara matang dengan siapa kau menikah, mengapa kau menikah, bagaimana kau akan menikah, apa yang membuat pernikahan itu berarti, dimana dan kapan kau menikah. Semua itu memang harus dipikirkan secara matang.
Bagitulah.
Seimbangkan. Jangan condong terlalu ke kanan, jangan condong terlalu ke kiri. Buka mata dan tetap buka mata, hati, telinga dan mulut, serta otak untuk mempertimbangkan segala kemungkinan. Dengan begitu kamu akan selamat.
-- sekian --