Hujan ...
Katamu Hujan sama seperti Cinta.
Menunggu dia datang sama sulitnya seperti menunggu dia berhenti. Kau hanya bisa berharap. Kau hanya bisa menunggu tanpa melakukan apa-apa. Menatapnya tanpa benar-benar terlibat langsung dengannya. Sebisa mungin untuk tak tersentuh. Karena kala kau tersentuh hujan, maka kau akan basah.
Resikonya terlalu besar. Itu katamu. Kita bisa sakit. Itu katamu. Kita bisa menangis. Itu katamu.
Maka dari itu, kau memilih menjauhkan diri dari Hujan.
sama seperti saat kau memilih untuk menjauhkan diri dari Cinta.
Tapi.
Dia berkata yang berbeda. Dia selalu membersamai hujan.
Katanya, Hujan sama seperti Cinta.
Ia akan datang ketika ia ingin. Berhenti kala ia ingin. Daripada menunggu, katanya, lebih baik menerobosnya saja. Toh kalaupun basah kita bisa minum obat bersama. Toh kalaupun menangis kita bisa berpelukan lalu bersama membahasnya. Daripada menunggu, katanya, lebih baik kejar hujan itu. semampu kita. Membersamainya, bukan hanya menatapnya tanpa terlibat. Bagaimana mungkin kita berharap tak basah sedang kita mencinta. Itu katanya.
Resikonya besar. Tapi bukan berarti tidak dilakukan. Hanya pengecut yang berlindung dari hujan. itu katanya.
Tapi ...
Aku ... berbeda dari kalian. Menunggu dan menerobos adalah dua hal yang harus dilakukan dalam Hujan ataupun Cinta.
Kataku, Hujan sama seperti Cinta.
Tunggu ia untuk datang, ketika mendung menjelang, bersamailah. Ketika benar-benar deras, menunggu saja, bersantailah sejenak. Tapi jangan dalam diam. Bahkan dalam Hujan pun kau masih bisa melakukan sesuatu, belajar misalnya? Baca buku misalnya? Mengaji misalnya? Menulis misalnya?
Bagiku, Hujan adalah perpaduan antara menunggu dan bergerak.
Kau bisa menunggunya berhenti ataupun menunggunya datang sambil bergerak melakukan sesuatu.
Begitu pula cinta. Menunggu dalam diam? huh? Omong kosong!!!
yang ada, menunggulah dalam gerakmu yang tak terhenti.
Bekasi, 31 Januari 2018
Katamu Hujan sama seperti Cinta.
Menunggu dia datang sama sulitnya seperti menunggu dia berhenti. Kau hanya bisa berharap. Kau hanya bisa menunggu tanpa melakukan apa-apa. Menatapnya tanpa benar-benar terlibat langsung dengannya. Sebisa mungin untuk tak tersentuh. Karena kala kau tersentuh hujan, maka kau akan basah.
Resikonya terlalu besar. Itu katamu. Kita bisa sakit. Itu katamu. Kita bisa menangis. Itu katamu.
Maka dari itu, kau memilih menjauhkan diri dari Hujan.
sama seperti saat kau memilih untuk menjauhkan diri dari Cinta.
Tapi.
Dia berkata yang berbeda. Dia selalu membersamai hujan.
Katanya, Hujan sama seperti Cinta.
Ia akan datang ketika ia ingin. Berhenti kala ia ingin. Daripada menunggu, katanya, lebih baik menerobosnya saja. Toh kalaupun basah kita bisa minum obat bersama. Toh kalaupun menangis kita bisa berpelukan lalu bersama membahasnya. Daripada menunggu, katanya, lebih baik kejar hujan itu. semampu kita. Membersamainya, bukan hanya menatapnya tanpa terlibat. Bagaimana mungkin kita berharap tak basah sedang kita mencinta. Itu katanya.
Resikonya besar. Tapi bukan berarti tidak dilakukan. Hanya pengecut yang berlindung dari hujan. itu katanya.
Tapi ...
Aku ... berbeda dari kalian. Menunggu dan menerobos adalah dua hal yang harus dilakukan dalam Hujan ataupun Cinta.
Kataku, Hujan sama seperti Cinta.
Tunggu ia untuk datang, ketika mendung menjelang, bersamailah. Ketika benar-benar deras, menunggu saja, bersantailah sejenak. Tapi jangan dalam diam. Bahkan dalam Hujan pun kau masih bisa melakukan sesuatu, belajar misalnya? Baca buku misalnya? Mengaji misalnya? Menulis misalnya?
Bagiku, Hujan adalah perpaduan antara menunggu dan bergerak.
Kau bisa menunggunya berhenti ataupun menunggunya datang sambil bergerak melakukan sesuatu.
Begitu pula cinta. Menunggu dalam diam? huh? Omong kosong!!!
yang ada, menunggulah dalam gerakmu yang tak terhenti.
Bekasi, 31 Januari 2018