Hinata Umi's Work

Hobby Yang Harus Kutinggalkan

Dalam beberapa bulan belakangan ini, ada banyak hal yang kusadari sangat berlanggaran dengan syariat agama yang kuanut. Menggambar, masalah pakaian, bahkan apa yang aku tulis. Belum lagi masalah mama dan ayahku yang memintaku untuk berhenti menyelami dunia tulis menulis dan dunia desain sampai kuliahku selesai. Hal itu sebenarnya, membuatku merasa tertinggal sendirian di dunia ini.

Sedih. Itu yang kala itu kurasakan. Kau punya agama, kau sangat mencintai agamamu itu. Kau percaya dan mengimani hal-hal yang datang darinya. Sampai... kenyataan bahwa apa yang sangat kau cintai ternyata harus terenggut karena agamamu. Menggambar, dunia desain fashion muslimah. Sungguh aku sangat mencintai dunia itu. Aku membayangkan bahwa betapa muslimah harus dapat cantik di dalam hijab yang diperintahkan wajib padanya. Bahwa mereka tak seharusnya malu hanya karena pakaian muslimah itu monoton. TIDAK!! aku tidak ingin hal itu terjadi.



Namun, itu semua ilusi untukku. Agama-ku melarangku untuk menggambar. Agamaku melarangku untuk membuat apa yang seharusnya terlindungi jadi terbuka lagi. Agamaku sudah susah payah menaikkan menaikkan harkat , martabat dan derajat muslimah di mata dunia dan aku ingin menjatuhkannya dengan fashion yang kuciptakan. Bukan, bukan hal itu yang kuingini. Ya.. aku paham sepenuhnya tujuanku sebelum memahami kenyataan ini adalah tujuan yang baik, namun jika Allah tidak ridho, untuk apa? toh niatku untuk menciptakan fashion muslimah adalah mencari ridho-Nya.


Lalu tentang menulis fiksi. Dunia impian yang selalu membuatku silau. Hobby yang membuatku jatuh cinta sejak pertama kali mengenalnya. Namun, dunia itupun kini harus kutinggalkan demi mencari ridho dari kedua orang tuaku. Karena tanpanya, aku tak akan memperoleh ridho-Nya. 

Hanya tangisan yang dapat kutumpahkan ketika akhirnya aku harus memilih. Aku tak mampu. Cintaku pada kedua dunia itu sudah tumbuh subur tatkala aku menemukan orang-orang yang mampu membuatku terlecut untuk serius menggelutinya. Tangisan itu tak dapat kuhentikan alirannya. Ya... aku kecewa. Aku sedih. Aku marah. 

Tapi dibalik kemarahan itu ada secercah ketakutan dan harapan. Ketakutan aku akan mencari-cari pembenaran atas segala hal yang salah yang telah kulakukan. Ketakutan akan kedangkalan akal. Ketakutan akan tertutupnya hati atas segala macam kebaikan. Ketakutan atas terhalangnya diri dari surga yang ia janjikan. 

Karena ketakutan-ketakutan itu, muncul pula harapan. Harapan bahwa aku mungkin ditakdirkan bukan berada dalam dunia seperti itu. Mungkin ada dunia lain yang lebih indah dari keduanya yang tengah menungguku. Harapan itu memberiku secercah kebahagiaan menanti janji-Nya pada makhluk-Nya yang taat.

Yah.. Aku tahu, aku paham bahwa Dia tak akan pernah mengingkari janji-Nya. Kali ini, aku memilih untuk menurut pada mama dan ayah serta perintah-Nya demi mencari Ridho-Nya. Toh, apa yang baik menurutku belum tentu terbaik menurutnya. Apa yang kuinginkan pula belum tentu apa yang kubutuhkan. Biarlah Dia yang menentukan apa yang sebaiknya terjadi. Toh tidak ada yang tidak mungkin di tangan-Nya. Kun, fayakun. Jadi, maka jadilah. 

Share:

0 komentar

Apa yang kamu pikirkan tentang tulisan di atas? Beri komentar di bawah, ya, teman-teman.